Dikei

Masyarakat Akit di Kampung Titiakar Rupat melaksanakan ritual pengobatan bedikei. (foto: kosabudaya.id)

Sekarang setelah semangat pasien kembali lagi ke dalam tubuhnya, kemantan menjauh dari pasien. Ia mengangkat bungkusan kain ke telinga kanannya dan mengguncangnya, memeriksanya apakah masih ada yang tertinggal. Jika diyakininya tidak ada yang tertinggal lagi, kemantan akan bangkit dan memutar membalutkan kain di atas kepala pasien. Di putaran terakhir ia mengangkat dan menurunkan bungkusan tepat di atas ubun-ubun pasien. Setelah ia mengamankan dan menenangkan seluruh semangat di tubuh pasien, biasanya ibu dan atau ibu-ibu klasifikatori pasien yang melakukannya untuk menenangkan (burung) semangat yang baru kembali ke dalam tubuh dengan suara cicitan induk burung.

Setelah memutar bungkusan di atas kepala pasien (muinak inak), kemantan membawa bungkusan ke bawah, mengikuti bentuk tubuh pasien: pertama di sisi kanan, kemudian kiri. Kemantan bangkit, mengambil model persembahan dan memutarnya di atas kepala pasien, kembali pembantu kemantan menirukan suara burung.

Bacaan Lainnya

Pengobatan juga dilakukan dengan memakai model. Kemantan membawa model ke pintu dan meminta obat kepada roh. Ia menunggu sambil memegang model di depannya. Seorang dibalak berdiri di belakangnya. Setelah itu dengan membawa model yang telah mengandung obat, kemantan memutarkan model itu di atas kepala pasien lagi. Lalu seperti prosesi di atas, kemantan melanjutkannya dengan bungkusan kain.

Selanjutnya, kemantan melakukan proses pengobatan paga di’i, untuk memagari agar semangat tidak lepas lagi. Ia kemudian menari lagi. Jika dibalak mengatakan kepada kemantan sudah waktunya untuk “balik” (kembali), kemantan segera bersila di depan model bersembahan seperti ketika ia memulai dikei dan menutup kepalanya dengan kain. Ia mengangkat dua tangannya setinggi mata dan menyembah roh. Ia meminta lilin dengan gerakan tangannya dan didayak memberikannya. Ia melanjutkan menyanyikan lagu sambil menggerak-gerakkan lututnya ke atas dan ke bawah mengikuti irama gendang. Setelah menyanyi sementara waktu ia meletakkan lilin dan menyembah lagi. Kemudian ia mengangkat kain merah yang ada di atas kepalanya dengan memegang ujungnya dan merentangkannya di atas kepalanya. Ia menjatuhkan badan ke depan sampai wajahnya menyentuh lantai, menutup kepalanya dan tubuhnya dengan kain. Ketika ia membungkuk kata wa’salam terdengar, namun mantera yang mengikutinya lambat-laun terdengar seperti gumaman. Semenit kemudian, ia menegakkan punggungnya seperti terpaku. Ia menarik rambut di atas kepalanya, membasuh wajahnya dengan air bunga dan membungkus pisau kayunya, yang tidak digunakannya, dan boneka burung di kainnya. Ia bangkit, berjalan menuju pasien dan memutarkan bungkusan kain untuk kali terakhir di atas kepalanya. Ia kemudian berjalan ke penabuh gendang yang telah memukul gendang selama acara ini, dan memutarkan bungkusan ini di atas kepalanya, untuk mengamankan semangat di tubuhnya juga setelah kerja kerasnya. Akhirnya, kemantan duduk, namun biasanya masih terlihat seperti terpaku. Seorang didayak mungkin akan mengambil sedikit bertih dan menaburkannya padanya. Setelah itu, biasanya kemantan akan melompat dan meyakinkan setiap orang bahwa ia telah kembali (olah balik).

Rujukan:
Nathan Porath. 2003. When the Bird Flies: Shamanic therapy and the Maintenance of Worldly Boundaries among an Indigeneous People of Riau (Sumatra), Leiden University: Research School CNWS
Elmustian Rahman, dkk. 2012. Ensiklopedia Kebudayaan Melayu Riau. Pekanbaru: Pusat Penelitian Kebudayaan dan Kemasyarakatan Universitas Riau

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *