Tanah Ulayat Petalangan

Balai Gunjung Laut Petalangan. Balai ini merupakan rumah adat Petalangan yang berada di tengah "laut" Danau Betung dalam Perkampung Adat Petalangan di Kampung Betun, Pelalawan. Di perkampungan adat ini juga terdapat Museum Tuk Monti, Gedung Putri Lindung Bulan, selasar dan mushola/foto: kosabudaya.id

TANAH Ulayat Petalangan adalah hutan-tanah yang dimiliki oleh masyarakat adat Petalangan. Secara umum, masyarakat Petalangan membagi tanah ulayat mereka dengan tiga wilayah kehidupan, yaitu rimba peladanganrimba simpanan, dan rimba kepungan sialang.

Rimba Peladangan
Rimba peladangan adalah hutan-tanah yang tidak memberikan penghasilan apa-apa, sehingga dijadikan sebagai tempat berladang. Tiap suku membuat ladang dalam lingkungan ini dan tidak dibolehkan di tempat lain. Kawasan rimba peladangan boleh dijadikan tanah perkebunan, tetapi harus lebih dahulu meminta izin kepada batin. Dalam pemakaian tanah, batin dan pembantunya memberikan pedoman sebagai berikut:

Bacaan Lainnya
  1. Tanah yang telah diizinkan dibuka harus dikerjakan selambat-lambatnya dalam satu tahun, batin dapat mencabut izin itu dan memberikan tanah tersebut kepada orang lain dalam ulayat yang sama.
  2. Tanah yang telah dikerjakan tetapi terkendala oleh peladangnya, maka batin dapat mengajukan dua kemungkinan untuk dipilih oleh peladang tersebut. Pertama dapat diperpanjang setahun lagi; kedua diberikan kepada pihak lain dengan catatan peladang yang menggantikan itu membayar semacam ganti rugi kepada peladang yang digantikannya.
  3. Untuk mendapatkan tanah pertanian atau lahan itu batin tidak memungut apa-apa, tetapi tanah itu tidak boleh digadaikan atau dijual kepada orang lain.
  4. Tanah yang akan dijadikan kebun juga harus seizin yang dibenarkan oleh batin. Jika hendak memperluas, harus meminta izin tambahan lagi. Biasanya perluasan itu satu kali luas kebun semula atau paling-paling 2 kali kebun pertama.
  5. Belukar bekas ladang seseorang yang ladangnya diteruskan ke atas (depan) pada lajur itu juga, tidak boleh di ambil oleh orang lain.

Rimba Simpanan
Rimba simpanan adalah hutan-tanah yang menghasilkan berbagai rupa seperti rotan, damar, getah sondeh, jelutung dan berbagai jenis kayu seperti seminai, tembesu, meranti, kulim, medang, punak, mentangur kuras, dan sebagainya. Disebut rimba simpanan, karena hasil-hasil hutan-tanah tersebut merupakan simpanan atau cadangan bagi kehidupan penduduk dan fauna di sekeliling rimba tersebut. Rimba ini hasilnya boleh diambil, asal menurut ketentuan adat yang berlaku yaitu tebas tidak merusak, tebang tidak membinasakan, rimba ditebang diganti rimba; pohon ditebang diganti pohon.

Ungkapan Tebas tidak merusak, tebang tidak membinasakan mengandung ketentuan terhadap kelestarian alam lingkungan. Kalau ada beberapa kayu rimba simpanan yang akan ditebang untuk diambil hasilnya, maka tindakan itu hendaklah dalam keadaan tidak melampaui batas. Kalau rotan dan berbagai jenis akar hendak diambil, maka seyogyanya hanya ditebas rotan dan akar yang sudah tua saja, sehingga tidak merusak kepada rotan dan akar yang muda yang akan menjadi rotan dan akar yang baru, menggantikan kelak yang telah dipotong. Begitu pula kayu yang ditebang. Menurut adat hendaklah kayu yang berguna saja, yaitu kayu yang telah sampai umurnya. Kayu-kayu yang muda jangan sampai rusak oleh penebangan kayu tua. Sebab kayu yang muda itulah yang akan menggantikan kayu yang telah ditebang.

Dengan demikian terdapat semacam ketentuan atau adat yang memberikan pembatasan dan pengendalian dalam pengambilan hasil-hasil hutan. Ketentuan itu diharapkan menjadi cara membatasi hawa nafsu terhadap alam, sehingga kerusakan alam lingkungan (hutan-tanah) oleh perbuatan itu masih dalam batas-batas kemampuan alam memperbaikinya. Karena semua hasil rimba simpanan hanya diambil sekedar yang perlu saja, serta dilakukan dengan cara yang hati-hati (wajar) berdasarkan keadaan untuk keselamatan hutan itu sendiri, maka wajah alam asli relatif dapat bertahan. Itulah sebabnya dikatakan dalam ketentuan itu, “Rimba ditebang diganti rimba, pohon ditebang diganti pohon”.

Kelestarian rimba simpanan bukan hanya dalam pertimbangan peranannya bagi kepentingan manusia di sekitarnya. Rimba simpanan juga dicadangkan untuk kepentingan hidup flora dan fauna yang berperan penting dalam kelestarian rimba tersebut.

Rimba Kepung Sialang
Rimba kepung sialang adalah hutan-tanah yang dilindungi undang-undang adat masyarakat Petalangan. Di wilayah itu tempat tumbuhnya kayu-kayu besar dan kayu buah-buahan seperti nangka air, durian. Selain itu di sini juga tumbuh pohon sialang dan pohon-pohon besar lainnya yang sangat bagus dan disenangi sialang. Sialang adalah lebah yang menghasilkan madu. Masing-masing pebatinan memiliki kepungan sialang. Dahulu jumlahnya bisa mencapai delapan lebih. Sedangkan jumlah yang sekarang tidaklah terlalu banyak. Misalnya di Betung yang tertinggal hanya tiga kepungan sialang saja. Hutan-tanah yang ada di Petalangan itu pula muncul dan berlangsung berbagai kegiatan, ritual dan mata pencaharian masyarakat.

Menurut adat, di mana batang sialang tumbuh maka kawasan tersebut dilindungi karena pohon ini tempat lebah bersarang dan mendatangkan madu. Jadi dilarang merusak hutan ini, serta dilindungi sekaligus melestarikan. Di Petalangan keberadaan hutan-tanah menjadi sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari. Sebab kehidupan masyarakat Petalangan bergantung dengan keberadaan hutan-tanah. Masyarakat Petalangan mengenal sistem pengolahan tanah secara berpindah-pindah tetapi masih dalam wilayah pebatinannya sendiri.

Dengan tiga pembagian hutan-tanah serupa itu, kita melihat bagaimana sifat intim dan hormat masyarakat pinggiran rimba belantara itu terhadap tanah. Ini memberi bukti bahwa mereka juga mempergunakan semacam perhitungan terhadap alam lingkungan. Pembagian itu tentulah tidak secara kebetulan. Para leluhur atau pengasas tata nilai masyarakat Petalangan dalam masa silam tentulah telah memikirkan dan membaca tanda-tanda kehidupan dalam zamannya, serta kemudian membuat perkiraan untuk masa depannya. Dengan tiga bagian hutan-tanah, masyarakat pinggiran hutan tersebut telah mempunyai pengertian bagaimana menjaga kelangsungan hidup dalam arti membuat pertimbangan terhadap tata lingkungan hutan itu.

Selama tata nilai mereka diindahkan mengenai hutan-tanah itu, selama itu dapat dijamin pembatasan tingkah laku manusia terhadap hutan rimba. Karena itu setelah tata nilai mereka guncang, baik oleh penggeseran dari dalam maupun oleh pengaruh dari luar, atau lebih tepat lagi oleh faktor luar dan dalam, maka mulai tampak bagaimana akibatnya terhadap kelestarian hutan rimba kawasan ini.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *