Pemaknaan “Sialang”

Sialang Muda. Sialang Muda dikelilingi Rimba Kepungan Sialang di Kampung Batang Gangsal Inderagiri Hulu. (foto: kosabudaya.id)

KATA sialang umumnya merujuk kepada sebutan untuk pohon yang menjadi rumah bagi sarang lebah, yaitu batang sialang. Ada dua pendapat mengenai pohon ini.

Pertama, bahwa sialang merujuk pada nama pohon tertentu dengan nama latinnya Koompassia excelsa (Becc.)  dari keluarga Liguminosa, sejenis pohon hutan yang besar dan tinggi. Ketinggiannya dapat mencapai 85 meter. Batangnya berdiameter antara 1-2,5 meter, berbanir tinggi dan berwarna kelabu kekuningan. Dahannya banyak sehingga mem­bentuk dom dan kadang-kadang terdapat subsilara yang juga berbentuk dom. Daunnya berwarna hijau dan biasanya luruh setahun sekali. Pohon ini memiliki getah beracun yang dapat menyebabkan gatal-gatal dan bengkak-bengkak. Meskipun pohon ini termasuk pohon yang keras kayunya, namun dahannya rapuh dan kadang-kadang patah sendiri.

Bacaan Lainnya

Kedua, menyatakan bahwa nama sialang tidak merujuk pada pohon tertentu. Pengertian ini yang banyak dipakai di Sumatera, khususnya di wilayah berbahasa Melayu. Nama sialang adalah nama yang umum dipakai semua pohon yang dapat menjadi tempat sarang lebah, jadi dalam kenyataan sialang berarti “Pohon Lebah”. Di antara jenis-jenis pohon itu, Skeat menyebutkan pohon Pulai dan pohon Kompas. Pohon sialang secara umum merujuk pada pohon-pohon yang tingginya kadang mencapai 50 meter, yang paling menyolok dibandingkan dengan pohon-pohon lain di sekitarnya. Umumnya pohon sialang memiliki daun-daun kecil yang halus, batang yang lembut, dan tumbuh di puncak sebuah bukit.

Pohon-pohon ini sangat berharga karena menjadi rumah bagi sarang lebah dan bisa memuat sampai 200 sarang, yang masing-masing dapat menghasilkan sampai 26 kilogram madu. Dengan panen sekali setahun, sebatang pohon sialang dapat menghasilkan sampai 5.000 kilogram madu per tahun. Setelah dipanen, lilin lebah dari sarang lebah dikirim ke tempat-tempat yang membuat lilin dan kain batik, sedangkan madunya dipakai untuk bahan obat dan makanan. Pengumpulan madu dan lilin lebah, serta pemeliharaan sialang, juga memerlukan pengetahuan khusus, yang dipakai oleh warga untuk kepentingan kemakmuran ekonomi mereka.   

Menurut kepercayaan orang Melayu, pohon ini berpenunggu, sehingga jarang ditebang orang. Orang mempercayai barangsiapa menebang pohon ini akan tertimpa musibah yang dapat membawa kematian.

Pengumpulan madu dan lilin lebah dari pohon sialang adalah salah satu aktivitas ekonomi utama orang Petalangan di masa lalu dan memiliki kaitan spiritual penting. Jika panen, orang Petalangan harus mempersembahkan madu dan lilin lebah kepada raja Siak atau wakilnya, di bawah aturan perdagangan serahan, untuk ditukar dengan besi, garam, atau kain. Untuk mengambil madu dari pohon sialang, orang Petalangan melakukan ritual yang disebut menumbai. Sialang juga menjadi lambang penting dalam beberapa ritual pengobatan, misalnya, dalam dikei pada orang Sakai.

Rujukan:
1. Timothy P. Barnard. 2006. Pusat Kekuasaan Ganda: Masyarakat dan alam Siak & Sumatra Timur, 1674-1827, Pekanbaru: P2KK-Unri
Dewan Bahasa dan Pustaka. 1999. Ensiklopedia Sejarah dan Kebudayaan Melayu, edisi kedua cetakan pertama. Selangor: Dewan Bahasa dan Pustaka
2. Nathan Porath. 2003. When the Bird Flies: Shamanic therapy and the Maintenance of Worldly Boundaries among an Indigeneous People of Riau (Sumatra), Leiden University: Research School CNWS

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *