Menempah Bidan

Dundung, nyanyian pengantar tidur Talang Mamak. (foto: guruku.kosabudaya.id)

MENEMPAH BIDAN adalah upacara setelah kandungan mencapai usia tujuh bulan yang dilaksana setelah melenggang perut. Biasanya hubungan dengan bidan telah terjalin jauh-jauh hari sebelumnya, ketika seorang perempuan diketahui hamil dan memutuskan untuk menyerahkan perawatan kehamilannya kepada bidan tersebut. Menjelang kandungan berusia tujuh bulan itu, bidan yang diminta untuk mengasuh perempuan hamil itu, datang secara teratur memeriksa kesehatan ibu dan anak dalam kandungan.

Tujuannya untuk membuat perjanjian (mengikat) seorang bidan yang diharapkan akan merawat, mengasuh serta memberi pertolongan sejak perempuan itu hamil hingga ia melahirkan nanti dan sampai lepas empat puluh hari.

Bacaan Lainnya

Oleh karena upacara menempah bidan dipandang sangat penting, maka seluruh keluarga perempuan yang hamil itu, harus mempersiapkan upa­cara dengan sebaik-baiknya. Upacara dapat dilakukan di rumah perempuan yang hamil atau di rumah bidan yang ditempah. Apabila bidan tempahan itu sudah tua, maka pada umumnya upacara itu dilakukan di rumah bidan.

Bidan yang ditempah ada dua orang dengan tugas masing-masing, yaitu bidan bawah bertugas menyambut bayi, memotong pusat membersihkannya dengan air suam kuku, membersihkan tembuni, dan merawat pusat dan perut si bayi agar tetap panas sehingga terhindar dari penyakit perut. Setelah bayi dimandikan, pusatnya diobati, dan dibedung, si bayi siap disusukan kepada ibunya. Sedangkan bidan atas bertugas membersihkan badan ibu yang melahirkan.

Setelah dibersihkan kedudukan perutnya diurut (yang disebut disengkak). Maksudnya agar kedudukan urat-urat perut menjadi teratur. Setelah itu, ibu disuruh makan obat yang diramu khusus oleh mak bid­an. Tugas kedua bidan ini berlanjut sampai beberapa hari kemudian. Mereka memandikan ibu dan bayi sejak melahirkan sampai menje­lang tanggal tali pusat sekali sehari. Setelah tanggal pusat di­mandikan 2 kali sehari yaitu pada pagi dan sore hari. Demikianlah bebera­pa hari setelah melahirkan kedua mak bidan itu dengan teratur mendatangi rumah perempuan yang melahirkan tersebut. Biasanya setelah lima hari melahirkan atau selambat-lambatnya tujuh hari, pusat bayi sudah lepas.

Persiapan upacara menempah bidan dilakukan sejak beberapa hari sebelumnya. Semua keluarga baik dari pihak suami dan isteri berkumpul di tempat diselenggarakannya upacara. Ruangan rumah, dapur sampai ruang tengah dan serambi muka dibersihkan. Tikar bersih dibentangkan di tengah rumah. Sehari sebelumnya telah diundang tetangga datang ke rumah untuk membacakan doa tolak bala yang dipimpin oleh seorang ulama. Selesai membaca doa dihidangkan makanan, berupa pulut kuning lengkap dengan lauk-pauknya. Makanan tersebut dicicipi bersama-sama beberapa kue atau juadah lainnya.

Sementara itu dua orang wanita baya yang menjadi utusan untuk pergi menempah bidan telah bersiap-siap dengan mengenakan pakaian yang bersih dan dandanan yang rapi. Alat-alat yang diperlukan untuk upacara menempah bidan telah dipersiapkan dalam suatu tempat dengan susunan yang rapi. Alat-alat tersebut antara lain:
1. Sebuah tepak sirih lengkap de­ngan segala isinya, yaitu: sesusun sirih, kapur, pinang dan gambir. Tepak sirih, sebagai lambang penghormatan, rasa keikhlasan, ketulusan serta persahabatan,
2. Buah limau nipis yang serangkai, artinya 3 buah limau nipis itu terletak pada satu tangkai yang sama. Limau tiga serangkai merupakan lambang kesaktian yang mempunyai kekuatan-kekuatan yang tertentu, apabila dijadikan obat.
3. Apabila upacara menempah itu dilakukan untuk pertama kalinya atau (hamil sulung), maka alat-alat yang telah disebutkan di atas dilengkapi pula dengan: sepinggan besar pulut kuning lengkap dengan lauk-pauknya yang dihidangkan di atas sebuah paha (sejenis talam sejenis talam berkaki dan berukir pinggirnya, terbuat dari tembaga) yang dihias dengan kain tudung hidang (penutup sajian yang dibuat dari kain perca beraneka warna, dibagian tengahnya disulam dengan benang emas atau perak), di dalamnya berisi bedak langir (perlengkapan dalam upacara mandi yang terbuat dari beras giling dan jeruk nipis)dan sebuah anak batu giling.

Setelah upacara membaca doa selamat selesai, maka utusan itu pun berangkat dilepaskan oleh keluarga perempuan yang hamil, untuk menuju ke rumah mak bidan dengan membawa segala kelengkapan yang disebutkan di atas serta ditemani beberapa orang anak laki-laki.

Upacara dimulai dengan meletakkan tepak sirih di tengah rumah. Ketika bidan telah siap untuk melakukan upacara tersebut, ia duduk bersimpuh menghadapi para tamu yang hadir. Ketika itu pula salah seo­rang orang tua yang bertindak sebagai wakil tuan rumah ataupun ibu kandung perempuan yang hamil itu sendiri menyampaikan hajatnya untuk menempah bidan sambil menyodorkan tepak sirih ke hadapan bidan. Sebagaimana biasanya bidan yang telah mengasuh perempuan hamil terse­but tidak akan menolak permohonan tersebut. Pernyataan tidak menolak itu dilambangkan dengan memakan sekapur sirih bersama tuan rumah. Setelah itu bidan berpesan agar ia dijemput bila saja waktunya apabila perempuan hamil itu akan melahirkan.

Upacara ditutup dengan dengan makan bersa­ma dan menyampaikan pantangan-pantangan sewaktu hamil jika diperlukan, yaitu:

1. Tidak boleh lalu di bawah galah kain atau penjemuran kain, takut ketika melahirkan anak melintang.
2. Tidak boleh membelah ikan dibagian kepalanya, terutama jika ikan itu besar. Takut anak yang dilahirkan cacad atau sumbing bibirnya.
3. Tidak boleh membelah kayu yang tidak hangus dibakar atau potong kayu, takut anak cacad.
4. Tidak boleh mencacak pagar, takut akan sukar melahirkan.
5. Tidak boleh mengikat sesuatu dengan tali, rotan atau akar, takut sukar melahirkan.
6. Tidak boleh melihat benda-benda atau orang yang berbentuk buruk yang menakutkan dan mengejutkan. Kalau hal ini terjadi anak di dalam kandungan akan menyerupai benda-benda atau orang-orang yang dilihatnya.
7. Ketika wanita hamil itu duduk, tidak boleh dibagian belakangnya dilintasi oleh orang lain, takut nyeman (menyerupai orang yang lalu di belakang). Kalaupun ingin lewat di belakang, harus terlebih dahulu memberi tahu.
8. Tidak boleh melilit kain di leher, takut leher anak yang dilahirkan nanti terlilit tali pusat.

Untuk suami wanita yang hamil
1. Tidak boleh mencacak pagar atau tiang rumah yang sifatnya menetap, takut istrinya sukar melahirkan.
2. Tidak boleh membunuh binatang, takut anaknya mati di dalam kan­dungan.
3. Tidak boleh mengikat tali dengan simpul mati, takut isterinya sukar melahirkan.
4. Dilarang memaku sesuatu, takut istrinya sukar melahirkan.
5. Tidak boleh pergi berburu atau menyerampang ikan, takut anak cacad.
6. Tidak boleh mengikat atau memasukkan jenazah ke dalam liang lahat, takut anaknya dalam kandungan tersapa oleh roh-roh halus yang mengikut dari kuburan.

Rujukan
M. Daud Kadir, dkk. 1985. Upacara Tradisional Daur Hidup Daerah Riau. Pekanbaru: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *