Menegakkan Rumah

Pondok kecil yang digunakan sebagai tempat berteduh di ladang. (foto: kosabudaya.id)

MENEGAKAN RUMAH adalah upacara yang dilaksanakan pada waktu mendirikan rumah. Upacara ini bertujuan untuk keselamatan tukang-tukang yang mengerjakan bangunan itu dan sekaligus untuk keselamatan pemiliknya. Pelaksanaan upacara dilakukan di tempat rumah tersebut didirikan dan biasanya dilaksanakan pada hari Jumat.

Upacara didahului dengan upacara menetau. Kemudian baru upacara menegakkan rumah. Persertanya sama dengan peserta upacara menetau dan ditambah dengan tukang-tukang yang akan mengerjakan bangunan. Tukang ini dipimpin oleh seorang Kepala Tukang, yang juga dianggap ahli dalam pengetahuan tentang makhluk halus. Pimpinan upacara sama dengan pimpinan upacara Mene­tau; Perlengkapan upacara adalah seperangkat peralatan Tepung Tawar; Kain merah, kuning, kelapa 2 buah, limau purut 2 buah, air putih satu cerek atau kelalang. Kain itu harus ganjil warnanya, jadi boleh 3 warna, 5 dan 7. Kalau 5 warna ditambah dengan putih dan hijau. Kalau 7 ditam­bah lagi dengan warna coklat dan biru; Pekayuan bangunan, terutama Tiang Seri.

Bacaan Lainnya

Prose Pelaksanaan
Pelaksanaan upacara dilakukan dengan pemilik rumah bersama tukang berada dalam lingkaran tertentu di atas tanah perumahan yang akan didirikan, sedang peserta lainnya berkeliling di luarnya. Ketentuan lainnya sama dengan upacara menatau. Jalannya upacara. Pertama sekali Pawang menyuruh Tukang menyiapkan Tiang Seri yang akan ditegakkan ditempat yang diinginkan. Kemudian pemilik bangunan dan tukang-tukang seluruhnya disuruh duduk di tengah-tengah tanah perumahan. Kemudian Pawang menepungtawari mereka satu persatu.

Sesudah itu Pawang merenjiskan tepung tawar kepada Tiang Seri dan bahan pekayuan lainnya, lalu Pawang membacakan mantera dan ditutup dengan doa selamat yang dibacakan oleh Lebai. Sesudah doa selamat dibacakan, seluruh hadirin dipersilahkan memasuki areal tanah perumahan, lalu dibagi-bagi dalam kelompok sebanyak 4 kelompok. Masing-masing kelompok mengelilingi sebatang Tiang Seri, kemu­dian Pawang melekatkan kain warna warni itu kekepala Tiang Seri. Sesu­dah itu dengan serentak keempat Tiang Seri itu didirikan sambil membaca Selawat kepada Nabi Muhammad Saw. Sebelum ditegakkan, kepala Ti­ang Seri diberi tali panjang yang gunanya untuk membantu menegakkan dan sekaligus dipergunakan oleh orang tua-tua sebagai “tanda ikut serta menegakkan rumah”.

Setelah keempat tiang itu ditegakkan pada tempatnya, maka dipasang rasuk. Kemudian bagian-bagian lainnya yang dapat menguatkan berdirinya tiang itu. Pawang menyuruh Kepala Tukang untuk mengikat buah kelapa pada salah satu Tiang Seri, lazimnya pada Tiang Seri di sudut kanan bagian muka rumah. Barulah kemudian limau yang sudah di manterai Pawang diiris dan diremas di dalam air putih, lalu direnjiskan kepada Tiang Seri. Ampas limau purut ditanam di tengah lapangan dan di bagian muka dan belakang tanah perumahan.

Menurut kepercayaan penduduk, buah kelapa 2 buah itu adalah sebagai lambang ‘ibu’ dan ‘ayah’, yang akan berkembang biak di rumah itu. Kain warna-warni, adalah aneka ragam kehidupan manusia. Dipercayai pula bahwa warna-warni itu mengandung pengertian tertentu. Merah adalah berani, putih kesucian, biru kedamaian, hijau kesuburan, coklat ketetapan hati, kuning kekuasaan dan hitam adalah tantangan.

Rujukan:
Wahyuningsih dan Rivai Abu. 1987. Arsitektur Tradisional Daerah Riau. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah
M. Daud Kadir, dkk. 1985. Upacara Tradisional Daur Hidup Daerah Riau. Pekanbaru: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *