Hadrah

Koba. Pertunjukan koba yang dibawakan oleh Pak Taslim di Dinas Kebudayaan Provinsi Riau. (foto: kosabudaya.id)

HADRAH adalah seni pentas yang mengandung nyanyian, tarian dan lakon dengan iringan musik rebana dan gong. Hadrah mempunyai hubungan dengan masa awal tamadun Islam di tanah Arab karena nyanyian hadrah mengandung perkataan Arab. Hadrah biasanya dipersembahkan dalam upacara perkawinan, atau berkhatam di berbagai budaya di Riau, Perlis, Kedah, Seberang Perai, dan Perak.

Namun ada persembahan hadrah yang hanya berbentuk nyanyian saja dengan tarian oleh empat orang “puteri” (biasanya lelaki memakai pakaian wanita) dan seorang rasuk yang memerankan tokoh laki-lelaki. Peranan rasuk untuk mematah langkah puteri supaya tarian mereka menjadi sumbang. Rasuk berperan sebagai orang yang memunculkan kelucuan dalam persembahan karena gelagatnya yang mencoba meniru dan mengacau ragam tari puteri-puteri. Selain itu solekan rasuk pun berantakan.

Bacaan Lainnya

Selain nyanyian dan tarian, hadrah juga diselipi dengan drama pendek bercorak sketsa. Persembahan hadrah yang mengandung ketiga bentuk kesenian ini kerap dibuat pada sebagian malam untuk meramaikan suatu acara.

Persembahan hadrah dapat dibuat di kawasan lapang karena hadrah tidak memerlukan perlengkapan khusus kecuali tirai yang direntangkan di gelanggang untuk mengawal gerak-gerik penari atau pelakon. Warna tirai yang direntang itu biasanya hijau, biru atau putih.

Pemain hadrah terdiri dari kaum lelaki yang diketuai oleh seorang pengurus, yang berjumlah sekitar 10-12 pemain rebana dan gong, empat penari, dan satu atau dua orang rasuk. Mereka biasa disebut sebagai “anak ardad”. Pemain musik bertindak sebagai penyanyi yang mengiringi tarian puteri-puteri.

Lagu-lagu yang dikenal dalam hadrah antara lain Lagu Kawat yang disertai Tari Kawat, Lagu Melayah disertai Tari Melayah, dan tarian Melayu asli seperti Inang, Zapin dan Joget. Dalam Tari Melayah, penari yang mahir akan melayahkan badan ke belakang

hingga tangan menongkat lantai dan dapat mengutip sesuatu dengan mulut. Biasanya, penonton meletakkan uang logam untuk dikutip oleh penari tersebut. Jika ada lakonan drama, kisahnya merujuk pada masalah sehari-hari seperti kemiskinan, kehidupan petani dan sebagainya.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *