Turun Ladang

Pondok kecil yang digunakan sebagai tempat berteduh di ladang. (foto: kosabudaya.id)

Menurut adat-istiadat, saat turun ke ladang itu harus diperhitungkan pelangkah (saat yang dipandang baik) untuk turun ke ladang itu, yaitu: a. Bersamaan dengan turunnya ayam dari kandang, b. Bersamaan dengan terbitnya matahari, c. Kira-kira pukul delapan pagi, d. Bersamaan dengan matahari naik (kira-kira pukul 10.00), e. Tiko bulek bayang-bayang tapijak kapalo (kira-kira pukul 12.00). Beberapa saat yang disebutkan di atas itulah yang dipandang baik untuk turun ke ladang oleh masyarakat Sentajo.

Setelah sampai seminggu mengerjakan ladang, maka mufakatlah induak mudo (orang yang mengawasi tobo) dengan cucu kemanakan untuk mendirikan ‘tobo‘, yaitu mengerjakan ladang secara bergotong royong, baik oleh laki-laki maupun oleh kaum wanita. Tujuan batobo itu adalah: Pertama, ladang yang semak itu kadang-kadang mempunyai musuh, seperti penyengat, ular, dsb. Bila dikerjakan secara bergotong royong bersama-sama akan dapat menghilangkan rasa takut. Kedua, ladang tersebut akan cepat selesai bila dikerjakan secara batobo, bila dibandingkan dengan dikerjakan perorangan. Lamanya batobo itu antara dua sampai tiga bulan. Setelah tiga bulan, tuo banjar pada masing-masing banjar melihat hasil kerja dari cucu kemenakan, apakah sudah sampai tanah itu ‘menelur semut’, artinya sudahkah semut-semut bertelur di celah-celah tanah yang sudah dikerjakan itu.

Bacaan Lainnya

Di samping itu tuo banjar juga memperhatikan tobo-tobo yang sedang mengerjakan ladang, baik tobo laki-laki maupun tobo perempuan. Pada saat itu maka berpantunlah tobo bujang.

kalau ka ladang ka batang panjang
manurun ke lokuak kandi
kami batobo nan bujang-bujang
kalau untuang banyak rasoki

Bila tuo banjar melihat tobo yang perempuan atau gadis-gadis maka berpantun pula orang tobo itu:

Baladang ka Baliak Rimbo
Maujuang ka balanti
Manengok kito nan tuo-tuo
Kok lai baladang menjadi rasoki

Dalam batobo itu dibunyikan ‘rarak riring’ (bunyi-bunyi musik tradisional yang sudah menjadi kebiasaan sejak zaman dahulu hingga sekarang. Tobo yang demikian disebut: ‘tobo berarak’. Tobo berarak bagi perempuan disebut ‘gendang kecil’ dan tobo berarak bagi laki-laki disebut ‘gendang besar’. Selama batobo induk mudo tuo banjar mengawasi tobo.

Setelah peninjauan, diberitahukanlah penghulu yang empat suku dalam, bahwa tanah sudah dikerjakan secara batobo. Kemudian penghulu mengadakan rapat di balai adat untuk menetapkan hari turun menugal.

Sebelum pekerjaan menugal dilaksanakan, penghulu mengharapkan kepada tuo banjar agar semua induk mudo ‘mamoti’ (menutup semua pekerjaan) tobonya masing-masing, karena akan diadakan upacara ‘mandoa ka padang’.

Setelah penghulu menetapkan hari menugal, (biasanya pada satu hari bulan, lima hari bulan safar) penghulu menyampaikan pengumuman kepada cucu kemenakan melalui tuo banjar, agar mereka yang ikut batobo secepatnya menutup tobonya masing-masing.

Sebelum upacara mandoa ka padang dimulai, penghulu memerintahkan kepada ketua banjar agar semua peserta upacara menghilangkan rasa dendam pribadi masing-masing. Perasaan dendam itu mungkin timbul ketika melakukan tobo. Perasaan dendam ini harus dihilangkan segera, agar benih padi yang ditanam itu tumbuh dengan subur dan bernas.

Oleh sebab itu, maka bermufakatlah induk-induk tobo itu, maka diambil keputusan supaya mandoa ka padang. Di dalam upacara mandoa ka padang itu akan disertakan arak-arakan ‘jambar godang’ (kue besar yang disebut kue perdamaian) yang diiringi dengan bunyi-bunyian rarak godang (musik tradisional yang dimainkan sambil duduk). Ketika itu dipertunjukkan pula tari payung yang dibawakan oleh anak-anak dari masing-masing tobo. Penghulu, menti, dubalang dan tuo banjar dari masing-masing banjar berdiri di tengah keramaian. Pada waktu ‘carano’ atau tepak sirih dari masing-masing tobo saling bersentuhan satu sama lainnya, yang melambangkan cetusan perasaan persaudaraan di antara semua peserta tobo-tobo itu. Pada waktu itu semua jambar godang yang diarak itu diberikan kepada ninik mamak untuk dimakan bersama-sama dengan cucu kemenakan, menandakan penghulu dan ninik mamak menerima perdamaian dari tobo-tobo tersebut.

Dalam upacara mendoa ka padang itu terbagi tiga tahap: Pertama, menyampaikan kepada cucu kemenakan mengenai adat yagn dipakai dalam negeri, yaitu adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah. Kedua, menyampaikan undang-undang yang berlaku di dalam negeri menurut adat kebiasaan di dalam berladang kepada cucu kemenakan, untuk dipatuhi selama waktu satu tahun berladang. Ketiga, memohon kepada Tuhan, supaya dikabulkannya, berlipat ganda hendaknya hasil yang diperoleh.

Di samping itu, pula semua penghulu, ninik mamak diundang oleh tuo banjar untuk menghadiri upacara tersebut. Ketika mandoa ka padang itu penghulu menjelaskan adat kebiasaan dan pantangan-pantangan ketika berladang. Penjelasan ini disampaikan, agar hasil ladang banyak, tidak diganggu oleh binatang-binatang ataupun bencana alam.

Tuo banjar merupakan ‘mata’ dan ‘telinga’ (pembantu utama) penghulu. Pada tiap-tiap banjar terdapat 4 orang tuo banjar yang dipilih dari empat suku yaitu: seorang dari suku Caniago; seorang dari suku Patopang; seorang dari suku Paliang; seorang dari suku Melayu Alasannya ialah, orang-orang yang akan dipimpin dalam banjar itu terdiri dari empat suku. Begitu pula keadaannya dengan banjar-banjar yang lainnya. Dalam upacara mandoa padang ini semua orang boleh mengikuti tanpa diundang. Dengan demikian upacara ini dilakukan untuk umum. Oleh sebab upacara ini sangai ramai. Upacara itu disenai pula dengan pantun-pantun untuk menghibur orang yang sudah merasa lelah selama mengerjakan ladang.

Cara mengundang orang untuk menghadiri upacara ini adalah dengan membunyikan canang atau tabuh di balai adat. Di situlah dipotong jawi atau sapi. Sapi yang dipilih yaitu sapi yang berwarna kuning langsat, tidak boleh sapi hitam belang puntung dan tidak boleh memotong kerbau, karena tabu menurut adat. Sapi berwarna hitam berarti sama dengan warna buaya di dalam air atau sama dengan warna jembalang (hantu jembalang) di dalam hutan yang merusak buah-buahan sehingga hampa. Memotong sapi yang berwarna kuning langsat, agar buah padi menjadi bersih dan menguning di seluruh padang. Setelah sapi dipotong tabuh dibunyikan di balai adat sebagai tanda menyuruh cucu kemenakan untuk datang membeli ‘bapokok tangga’ namanya. Seandainya mereka tidak dijemput, akan diantarkan oleb tuo banjar ke rumah masing-masing. Cara yang seperti itu disebut adat ‘potong sapi pakaian naik, artinya dari mamak turun kepada kemenakan.

Pada malam harinya dibunyikan anang yang berarti menyuruh membawa ‘jambar’ tiap-tiap rumah ke tempat upacara, yaitu sebungkus nasi, sekucung gulai, kue-kue diletakkan di atas dulang yang ditutup dengan kain batik. Setelah keesokan harinya yaitu sekitar pukul 3.00 sore, maka beriringlah jambar yang dijunjung oleh kaum wanita ke tempat upacara. Masa dulu setiap rumah membuat lemang, yang akan dibagikan kepada yang hadir dalam upacara itu. Sekarang ini mengalami perubahan seperti pantun di bawah ini:
Pandan dahulu pandan kini
Pandan sering berbuah
Zaman dahulu zaman kini
Zaman sering berulah

Pada saat ini kue-kue yang dibawa ke tempat upacara itu hanya ala kadarnya saja. Tetapi rarak riring tetap dilaksanakan. Pada waktu mandoa ka padang itu yang dikemukan adalah: 1)tentang pergaulan muda-mudi selama menggali batu, selama; 2) membalik tatiah. Pada saat itu diuraikan petatah-petitih mengenai apa yang terjadi dalam masa dua bulan atau tiga bulan selama mengerjakan ladang. Cucu kemenakan diberi petunjuk oleh orang cerdik pandai agar semua silang sengketa yang terjadi selama mengerjakan sawah secara batobo tidak terbawa ke rumah tangga masing-masing. 3) Penghulu menjelaskan kepada tuo banjar segala peraturan yang akan dijalankan yang disebut dengan ‘pakaian naik’, artinya dari penghulu kepada tuo banjar. Enam bulan pakaian turun dan enam bulan pakaian naik. Yang dikatakan naik, bila benih sudah diturunkan ke tanah. sedangkan yang dikatakan turun bila padi sampai ke rumah atau selesai dituai.

Setelah penghulu selesai memberi petunjuk kepada tuo banjar, kemudian upacara dipimpin oleh seorang alim ulama, bertahlil dan berdoa memohon kepada Tuhan, sambil menadahkan tangan. Setelah selesai berdoa, berdiri pula ‘pangkal tuo’ yaitu orang yang dituakan memanggil induk mudo, “Hei induk mudo, pinta dapat, ucapan makbul hendaknya. Mana kalian semuanya, kalau ada membawa nasi ajanglah ka tengah, untuk sama-sama kita makan, kalau tidak sama-sama kita lihat”. Maka induk mudo bergeraklah memikul ‘kambut’ atau bakul besar yang berisi nasi, membagikan kepada semua yang hadir, yang telah duduk berbaris berhadap-hadapan, yang besar diujung yang kecil di sebelah pangkal. Selesai nasi dibagikan, pangkal tuo memanggil pula induk tobo, menyuruh membawa ‘jambar godang’ (hidangan kue-kue besar) ke tengah-tengah tempat upacara, supaya dapat dilihat, putih kapas berkeadaan, kenyang penat supaya sama-sama terasa. Maka diusunglah jambar: Pertama, membalik tanah. Pada saat itu diuraikan petatah-petitih mengenai apa yang terjadi dalam masa dua bulan atau tiga bulan selama mengerjakan ladang. Cucu kemenakan diberi petunjuk oleh orang cerdik pandai agar semua saling sengketa yang terjadi selama mengerjakan sawah secara batobo tidak terbawa ke rumah tangga masing-masing. Kedua, penghulu menjelaskan kepada tuo banjar segala peraturan yang akan dijalankan yang disebut dengan ‘pakaian naik’, artinya dari penghulu kepada tuo banjar. Enam bulan pakaian turun dan enam bulan pakaian naik. Yang dikatakan naik, bila benih sudah diturunkan ke tanah, sedangkan yang dikatakan turun bila padi sampai ke rumah atau selesai dituai.

Setelah penghulu selesai memberi petunjuk kepada tuo banjar, kemudian upacara dipimpin oleh seorang alim ulama, bertahlil dan berdoa memohon kepada Tuhan, sambil menadahkan tangan.

Setelah selesai berdoa, berdiri pula ‘pangkal tuo’ yaitu orang yang dituakan memanggil induk mudo, “Hei induk mudo!, pinta dapat, ucapan makbul hendaknya. Mana kalian semuanya, kalau ada membawa nasi ajanglah ka tengah, untuk sama-sama kita makan, kalau tidak sama-sama kita lihat“. Maka induk mudo bergeraklah memikul ‘kambut’ atau bakul besar yang berisi nasi, membagikan kepada semua yang hadir, yang telah duduk berbaris berhadapa-hadapan, yang besar diujung yang kecil di sebelah pangkal. Selesai nasi dibagikan, pangkal tuo memanggil pula induk tobo, menyuruh membawa ‘jambar godang’ (hidangan kue-kue besar) ke tengah-tengah tempat upacara, supaya dapat dilihat, putih kapas berkeadaan, kenyang perut supaya sama-sama terasa. Maka diusunglah jambar tersebut disamakan dengan rusa, yaitu dibuni bersama-sama, kemudian dipotong dan dibagi-bagikan kepada orang yang empunya ladang dan tidak menjadi hutang bagi orang yang memakannya. Itulah hutang yang terberat bagi orang yang empunya ternak.

Ketentuan lain yang harus diingat dan dipatuhi ialah, setiap pemilik ladang harus memagar ladangnya, jika ladangnya dekat dengan kandang ternak, orang yang empunya ternak tidak berhutang atau tidak menggantinya, karena berladang tidak menurut undang-undang, artinya orang yang tidak tunduk kepada baris dan tidak lati kepada pusaka ninik mamaknya dan dianggap memberi main mamak.

Mengikat orang dengan orang, kata ditepati, janji disudahi. Janji penghulu waktu mendoa ka padang itu diberi limit (waktu) mulai menugal. Hari menugal itu ditetapkan oleh penghulu, seminggu setelah selesai upacara mendoa ka padang. Barang siapa yang mendahuluinya dianggap melanggar perintah penghulu. Kalau terjadi menugal tidak pada waktunya, tentu saja benih yang ditanam itu akan dimakan oleh ayam dan itik, orang tersebut dianggap melanggar undang-undang. Sangsinya adalah, tajak atau cangkulnya serta tugalnya diambil oleh dubalang dan dibawa ke balai adat. Kemudian dipanggil mamaknya, ‘salah dibuat dimakan buat, salah dijanji berhutang janji’, itulah adat yang dipakai di dalam negeri. Bila ia sudah tunduk kepada penghulu, barulah cangkul dan tugalnya dikembalikan.

Kemudian berpidato ‘Menti’ mengenai sengketa antara tobo yang satu dengan tobo yang lainnya tentang perbuatan muda-mudi selama batobo seperti: a).  Bersentuhan bahu antara isteri orang dengan suami orang b). Ketawa karena tobo sendirian; Salah pandang antara gadis dan bujang; dll. Pada waktu itu diselesaikanlah semua silih sengketa yang dibuat selama batobo. Setelah selesai berpidato, sampailah kepada ‘sembah nasi’ sembah nasi ini berupa patatah petitih. Tujuan daripada sembah nasi ini adalah mempersilakan semua yang hadir makan bersama-sama, baik anak-anak, orang dewasa, orang tua-tua, cerdik pandai, alim ulama, orang yang berpangkat dalam negeri, sama-sama makan nasi yang dibungkus dengan daun pisang, memakan gulai yang sekucung, sama-sama memakan kue, sambil duduk berhadap-hadapan, orang dewasa diletakkan di bagian ujung dan anak-anak di bagian pangkal ladang. Setelah selesai makan, upacara mendoa ke padang selesai.

Mengasai Benih
Mengasai benih adalah salah satu dari upacara turun ke ladang. Bertujuan agar benih yang ditanam tumbuh dengan subur, tidak diganggu penyakit atau musuh, dan hasilnya berlipat ganda. Waktu penyelenggaraan upacara ini sesudah salat Isya yaitu kira-kira pukul 20.00. Tempat upacara di rumah dukun. Penyelenggara teknis upacaranya adalah dukun. Pihak-pihak yang terlibat di dalam upacara adalah orang yang menguasai benih atau yang empunya benih. Persiapan dan perlengkapan dari upacara adalah: kulit batang kasai, setawar, sedingin, kumpai, cekerau, sugi-sugi, sebuah buah kundur, tiga buah jeruk mentimun, rebung bambu, rebung teberau, rebung perupuk, air kelapa muda, parasopan (tembikar), dan kemenyan; 3 gantang benih padi ditambah dengan biji mentimun dan biji labu manis, tikar mingkuang, gantang padi, sebuah baskom yang berisi air putih

Setelah semua alat-alat untuk menguasai itu dipersiapkan oleh yang empunya benih, kemudian dibawa ke rumah dukun untuk dikasai, yaitu pada petang kamis malam Jumat. Mula-mula mengambil air wuduk, kemudian duduk di atas tikar. Lalu dukun mengiris-iris tepung tawar dan dimasukkan ke dalam baskom yang telah diisi dengan air putih secukupnya. Air kelapa dimasukkann ke dalamnya yang dicampur dengan tepung tawar, lain diasap dengan kemenyan dan dimanterai.

Padi yang tiga gantang tadi diletakkan di atas tikar mengkuang, kemudian tepung tawar dan semua alat-alat yang ada di dalam baskom itu diremas-remas dengan benih itu. Setelah beberapa saat kemudian, benih yang diletakkan di atas tikar itu digangangi kembali. Kalau berlebih tiga gantang, lebih-terlebih dahulu ke tanah. Di samping itu juga memberi pertanda bahwa tahun akan menjadi atau selamat. Apabila sebaliknya yang terjadi, sama atau tidak cukup tiga gantang, pertanda tahun tidak akan selamat. Lambang-lambang yang terkandung dalam unsur-unsur upacara yaitu:

  1. mengasai itu diadakan petang kamis, malam Jumat, maknanya merupakan hari baik bagi umat Islam,
  2. kasai adalah untuk menyejukkan bunga benih; 3) tepung tawar untuk menyejuki benih,
  3. tikar mengkuang, dimaksudkan tikar yang dipergunakan sebagai tempat menjemur padi, dan
  4. parasopan dan membakar kemenyan yaitu memohon kepada Tuhan supaya tahun selamat, buah   padi menjadi jauh dari penyakit dsb. Pantangan yang harus dihindari selama berlangsungnya  upacara  adalah  dukun  tidak boleh batal wuduknya, sebab dalam upacara dukun harus dalam keadaan suci dari kotoran dan najis.

Menanamkan Benih
Upacara turun ke ladang, tahap ketiga adalah menurunkan benih. Maksud daripada upacara ini adalah supaya bunga benih yang diturunkan sebagai pokok atau pedoman bagi penurunan benih selanjutnya. Benih yang pertama ini juga sebagai pedoman bagi penurunan benih selanjutnya. Benih yang pertama ini juga sebagai pedoman di waktu akan menuai nantinya. Waktu penyelenggaraan upacara adalah diwaktu pagi hari sekitar pukul 8.00 pagi. Tempat penyelenggaraan upacara di tengah-tengah ladang yang akan ditugal. Penyelenggaraan teknis upacara ini adalah orang tua perempuan yang mempunyai ladang. Persiapan dan perlengkapan upacara:

  1. tepung tawar,
  2. bira hitam,
  3. keladi hitam,
  4. puding air emas,
  5. batang ara bumbung yang panjangnya satu hasta,
  6. pelepah pisang lidi.

Bunga benih dibawa dari rumah ke ladang oleh yang mempunyai ladang. Tepung tawar diisi air putih yang diletakkan di dalam mangkok. Semua alat-alat tersebut di atas ditanamkan di tengah-tengah ladang yang dikelilingi dengan bunga benih yang ditugalkan dengan batang ara bumbung sebanyak tujuh lubang atau ‘tujuh linggasak’. Kemudian batang ara bumbung tadi dibelah empat dan ditanamkan di keliling lubang benih tadi. Sebelum ditugal, tanah digemburkan terlebih dahulu dan diganjal dengan pelepah pisang lidi, dibuat seperti kuburan kecil. Mantra yang dibaca pada waktu menurunkan benih adalah sebagai berikut:
Bismillahirrahmanirrahim
Kalambu bakalana
Bira hitam kaladi hitam
Kacambu la kau tanah
Boke bore padi akan menjadi

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *