Turun Ladang

Pondok kecil yang digunakan sebagai tempat berteduh di ladang. (foto: kosabudaya.id)

TURUN LADANG adalah upacara tradisional yang dilaksanakan sebelum memulai turun ke tanah peladangan pada musim berladang. Upacara ini dimaksud agar benih yang ditugalkan ke tanah tumbuh dengan baik, tidak diserang hama ulat ‘rate‘ (sebangsa ulat yang merusak daun padi), diganggu binatang atau burung. Selain itu, turun ladang juga sebagai doa bersama yang bertujuan agar orang-orang yang mengerjakan ladang tetap sehat, lancar di dalam pekerjaan dan tidak ada silang sengketa. Upacara turun ladang dilaksanakan dengan batobo.

Turun ladang dilakukan hanya sekali setahun, pada saat orang akan turun ke ladang, baik ladang daratan, tegalan, ladang hutan ataupun turun ke sawah. Upacara Turun Ladang ini diadakan pada sore hari hari, karena pada saat inilah orang kampung dapat berkumpul bersama-sama. Tempat upacara ini diselenggarakan di ladang, biasanya berdekatan dengan sungai, agar orang-orang yang terlibat dalam upacara ini dapat mudah mengambil air. Dekat dengan pohon yang rindang agar teduh. Turun ke Ladang di Kenegerian Sentajo misalnya, upacara ini disebut dengan Turun ke Ladang. Upacara ini melalui beberapa tahap, yaitu tahap mendoa ke padang; tahap mengasai bcnih, dan tahap menurunkan benih

Bacaan Lainnya

Penyelenggaraan Upacara Turun Ladang
Orang-orang yang terlibat dalam penyelenggaraan tehnis upacara datang mendoa ke tempat tersebut. Orang-orang yang melaksanakan upacaraturun keladang adalah: Penghulu, Menti, Dubalang, Tuo Banjar, Induak Mudo yaitu pemimpin tobo, Alim Ulama, Dukun, dan Cerdik pandai dalam negeri. Selain daripada itu pihak-pihak yang terlibat di dalam upacara adalah seluruh warga kampung di tempat upacara itu berlangsung. Bagi warga kampung, upacar ini dianggap sebagai pesta rakyat. Setelah upacara mendoa selcsai, maka dilanjutkan dengan makan bersama yanp bolch diikuti olch seluruh orang yang hadir.

Menurut adat yang berlaku di Sentajo, setelah angin berhembus dari Selatan dan berlawanan dengan angin Utara, maka menurut adat, ninik mamak serta pasak-pasak dalam negeri dipanggil oleh penghulu ke balai nan bajerong (balai adat). Tanda-tanda lain yang secara tradisional menjadi pedoman (cogan) orang  Sentajo turun ke ladang, apabila pohon teberau mulai berbunga (warnanya putih). Tanda-tanda lain lagi, apabila pohon embacang mulai berbunga. Anak-anak ikan di Batang Kuantan tampak berenang ke hulu sungai. Tumpukan-tumpukan pasir yang menyerupai pulau yang terdapat di Sungai Kuantan tampak bermunculan seperti pulau-pulau kecil. Pasir-pasir yang memulau itu disebut orang Sentajo ‘Pulau telah jorong bajorong’.

Air sungai mulai mendangkal berarti musim hujan telah berakhir, sedangkan musim panas akan tiba. Tanda-tanda yang tampak itu mempunyai arti sendiri pula bagi rakyat Sentajo. Tanda-tanda yang serupa itu menunjukkan mereka telah berada pada awal musim yang disebut dalam bahasa daerah “Awal musim kepala musim’. Awal musim atau kepala musim itu datang setiap tahun sekali. Pada saat inilah yang paling baik untuk bercocok tanam ke sawah atau ke ladang. Akan tetapi sebelum turun ke ladang, terlebih dahulu penghulu sebagai ketua kampung memanggil orang-orang penting di kampung untuk datang ke balai bajorong (balai adat), untuk merundingkan saat-saat yang paling baik atau tepat bersama-sama seluruh kampung turun ke ladang. Perundingan ini perlu diadakan untuk mendengar pendapat dan saran-saran dari orang tua, bagaimana sebaiknya melakukan pekerjaan turun ke ladang itu agar hasil ladang bertambah dan tidak diganggu oleh hewan dan gangguan makhluk-makhluk halus yang diyakini hidup di sekitar mereka.

Perundingan itu perlu dilakukan, karena turun ke ladang itu secara bergotong-royong (batobo). Batobo adalah kegiatan gotong royong yang dilakukan secara tolong-menolong sejak dari membersihkan ladang dan sawah hingga menanam dan menuai padi ketika masa panen. Kebiasaan batobo ini merupakan kegiatan bersama yang diatur dan diorganisir menurut adat-istiadat.

Setelah semua orang berkumpul di balai nan bajerong. Penghulu menjelaskan kepada orang-orang penting tersebut. Bahwa tanda-tanda untuk turun ke ladang sudah kelihatan. Penjelasan penghulu itu dijawab oleh yang hadir, terutama dukun, “Hari sudah baik, waktu sudah sempurna”. Setelah perundingan selesai dan hari turun ke ladang telah ditetapkan, maka keputusan tersebut disebarluaskan kepada seluruh penduduk  Sentajo. Berita itu disampaikan dengan cara membunyikan canang (gong kecil) oleh ketua Banjar.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *