Batang Sialang

Batang Sialang beserta dengan Rimba Kepungan Sialang murupakan bagian dari tanah ulayat yang dijaga oleh hukum-hukum adat. (foto: kosabudaya.id)

BATANG Sialang adalah batang atau pohon jenis tertentu yang dijadikan oleh lebah sebagai tempat bersarang dan membangun koloni. Batang sialang dimiliki secara bersama-sama oleh suatu komunitas masyarakat adat dan menjadi tanda keberakaran komunitas tersebut.

Batang sialang dikeliling hutan yang disebut dengan rimba kepungan sialang. Rimba ini menjadi laman bermain lebah untuk menghisap nektar bunga yang nantinya akan menjadi madu lebah. Keduanya dilindungi oleh undang-undang adat, dimiliki secara bersama-sama oleh masyarakat adat, dan dikelola oleh pemimpin adat atau suku seperti batin dan penghulu. Di dalam hukum adat, di mana Batang Sialang tumbuh, maka kawasan tersebut akan menjadi hutan-tanah yang dimiliki secara bersama-sama oleh masyarakat adat.

Bacaan Lainnya

Madu di batang sialang dipanen sekali dalam setahun dalam sebuah ritual yang dinamakan manumbai. Ritual ini adalah bentuk menjaga dan menghormati Batang Sialang. Setiap Batang Sialang mampu memuat hingga 200 sarang dan setiap sarang dapat menghasilkan 26 kilogram madu atau 5 ton madu secara keseluruhan. Hasil madu batang sialang menjadi komoditas berharga termasuk sebagai bahan obat dan minuman, sedangkan lilin dari sarang lebah dikirim ke sentra-sentra kerajinan batik. Di masa lalu, madu dan lilin lebah yang diambil dari batang sialang merupakan salah satu komoditas penting dari hutan di kawasan Sumatera Timur.

Lebah di batang sialang akan membangun sarang 4 kali dalam setahun. Sarang tersebut dibangun dalam empat musim utama yang menjadi siklus berladang masyarakat. Keempat musim tersebut adalah musim bunga jagung, musim bunga padi, musim menuai, dan musim menebas dan menebang belukar tanah peladangan. Dari keempat musim, madu yang dihasilkan pada musim bunga padi dipercaya sebagai madu terbaik. Madu jenis ini berwarna kekuningan dengan rasa yang tidak terlalu manis.

Madu yang dihasilkan dari sarang lebah batang sialang memiliki rasa mengikuti musim bunga pepohonan yang ada di dalam hutan. Apabila madu diambil setelah musim bunga yang rasanya pahit, maka madunya akan terasa agak pahit. Begitu pula bila madu diambil setelah musim bunga yang berasa manis, maka madunya akan manis. Rasa menentukan kualitas dan kegunaan madu. Madu yang rasanya agak pahit dianggap paling berkhasiat untuk obat.

Saat ini, hutan tropis semakin menyusut dan berganti dengan tanaman sawit. Fenomena ini menjadikan rasa madu Batang Sialang cenderung sama, karena lebah hanya menghisap nektar dari sumber yang sama sepanjang musim, yaitu bunga sawit.

Pemaknaan Sialang
Kata sialang umumnya merujuk kepada sebutan untuk pohon yang menjadi rumah bagi sarang lebah, yaitu batang sialang. Terdapat dua pendapat mengenai pohon ini.

Pertama, bahwa sialang merujuk pada nama pohon tertentu dengan nama latinnya Koompassia excelsa (Becc.)  dari keluarga Liguminosa, sejenis pohon hutan yang besar dan tinggi. Ketinggiannya dapat mencapai 85 meter. Batangnya berdiameter antara 1-2,5 meter, berbanir tinggi dan berwarna kelabu kekuningan. Dahannya banyak sehingga mem­bentuk dom dan kadang-kadang terdapat subsilara yang juga berbentuk dom. Daunnya berwarna hijau dan biasanya luruh setahun sekali. Pohon ini memiliki getah beracun yang dapat menyebabkan gatal-gatal dan bengkak-bengkak. Meskipun pohon ini termasuk pohon yang keras kayunya, namun dahannya rapuh dan kadang-kadang patah sendiri.

Kedua, menyatakan bahwa nama sialang tidak merujuk pada pohon tertentu. Pengertian ini yang banyak dipakai di Sumatera, khususnya di wilayah berbahasa Melayu. Nama sialang adalah nama yang umum dipakai semua pohon yang dapat menjadi tempat sarang lebah, jadi dalam kenyataan sialang berarti “Pohon Lebah”. Di antara jenis-jenis pohon itu, Skeat menyebutkan pohon Pulai dan pohon Kompas. Pohon sialang secara umum merujuk pada pohon-pohon yang tingginya kadang mencapai 50 meter, yang paling menyolok dibandingkan dengan pohon-pohon lain di sekitarnya. Umumnya pohon sialang memiliki daun-daun kecil yang halus, batang yang lembut, dan tumbuh di puncak sebuah bukit.

Pohon-pohon ini sangat berharga karena menjadi rumah bagi sarang lebah dan bisa memuat sampai 200 sarang, yang masing-masing dapat menghasilkan sampai 26 kilogram madu. Dengan panen sekali setahun, sebatang pohon sialang dapat menghasilkan sampai 5.000 kilogram madu per tahun. Setelah dipanen, lilin lebah dari sarang lebah dikirim ke tempat-tempat yang membuat lilin dan kain batik, sedangkan madunya dipakai untuk bahan obat dan makanan. Pengumpulan madu dan lilin lebah, serta pemeliharaan sialang, juga memerlukan pengetahuan khusus, yang dipakai oleh warga untuk kepentingan kemakmuran ekonomi mereka.   

Menurut kepercayaan orang Melayu, batang sialang berpenunggu, sehingga jarang ditebang orang. Orang mempercayai barang siapa menebang pohon ini akan tertimpa musibah yang dapat membawa kematian.

Pengumpulan madu dan lilin lebah dari batang sialang menjadi salah satu aktivitas ekonomi utama orang Petalangan di masa lalu dan memiliki kaitan spiritual penting. Jika panen, orang Petalangan harus mempersembahkan madu dan lilin lebah kepada raja Siak atau wakilnya, di bawah aturan perdagangan serahan, untuk ditukar dengan besi, garam, atau kain. Untuk mengambil madu dari pohon sialang, orang Petalangan melakukan ritual yang disebut menumbai. Sialang juga menjadi lambang penting dalam beberapa ritual pengobatan, misalnya, dalam dikei pada orang Sakai.

Sialang Muda
Pohon yang akan menjadi batang sialang disebut dengan sialang muda. Sialang ini belum mendapat sarang lebah, sehingga tidak menghasilkan madu. Sialang muda dipersiapkan oleh calon pemilik batang sialang dengan merawat dan menjaganya kelestariannya. Perawatan meliputi membersihkan pangkal sialang dari semak-semak dan batang sialang dari akar dan semut, menjaga keragaman jenis pohon yang terdapat di Rimba Kepungan Sialang, sedangkan pelestarian yaitu menjaga anak-anak Sialang Muda dari penebangan dan kepunahan.

Pada masa lalu, pangkal sialang muda disiram dengan air intan, yaitu air yang telah direndamkan lebih dahulu intan di dalamnya. Air intan diharapkan memberi simbol sebagai air yang bercahaya. Air itu disiramkan dengan gerak tangan dari bawah ke atas. Penyiraman air intan bertujuan sebagai daya tarik lebah, sebab kayu itu “diibaratkan” telah bercahaya. Masyarakat mempercayai, lebah menyukai sesuatu yang bercahaya.

Dalam kepercayaan masyarakat, lebah dipandang sebagai putri (di Petalangan disebut lalat putih Sri Majnun). Seorang putri dipercaya tertarik kepada sesuatu yang bercahaya semisal intan. Dengan penyiraman air intan, maka “putri” akan singgah di batang sialang untuk membangun sarang.

Di beberapa komunitas masyarakat, batang sialang dibagi menjadi tiga jenis yaitu anak sialang, kayu sialang (sialang muda), dan batang sialang. Anak sialang adalah jenis kayu yang dapat menjadi batang sialang tetapi masih kecil. Pohon ini memiliki tinggi sekitar 5 meter. Kayu sialang adalah pohon sialang yang sudah tinggi dan besar tetapi belum menghasilkan madu atau belum menjadi tempat lebah bersarang. Tanda pada kayu sialang jenis sulur batang yang segera menjadi batang sialang yaitu pada dahan paling bawah yang telah lapuk dan jatuh akan menimbulkan bekas bungkul. Bagian bungkul tersebut akan menjadi tempat yang paling disukai lebah untuk membangun sarang. Sarang lebah pertama akan diikuti oleh kawanan lebah lainnya sehingga terbentuk koloni lebah.

Jenis Kayu Batang Sialang
Jenis kayu yang lazim ditemukan sebagai batang sialang adalah pulai, jelutung, rengas, kedundung, cempedak air, sulur batang, dan rumah keluang. Jenis ini berkembang biak dengan bijinya. Sehingga, sebuah pohon cikal bakal batang sialang memerlukan puluhan tahun untuk bisa menjadi batang sialang. Dalam kepercayaan masyarakat, anak sialang biasanya tumbuh dengan cepat bila sialang yang tua telah mati.

Sulur batang adalah jenis kayu yang dalam cerita rakyat disebutkan dibawa bibitnya oleh Datuk Demang Serail dari negeri Johor. Dinamai sulur batang karena pohon yang besar tinggi ini sering berganti kulit batangnya. Kulit batang yang berganti-ganti serupa itu tampak seperti sulur pada kulit ular yang juga berganti kulit. Jenis kayu sialang ini mempunyai tanda-tanda berdaun halus kecil, batang licin dan berkelopak-kelopak yang disebut sulur, dahan lampai, dan umumnya tumbuh di daerah bukit.1

Rumah keluang adalah jenis kayu besar serta tinggi. Disebut rumah keluang karena jika lebah tidak bersarang, maka akan didiami oleh keluang. Ciri-ciri pohon kayu ini adalah berdaun lebar, batang tidak bersisik (tidak berkelopak-kelopak), dahan pendek dan tidak bersiku-siku, dan tumbuh biasanya dilereng bukit atau dirona-rona yang tidak berair.

Cempedak air hampir mirip dengan pohon cempedak, tetapi tidak berbuah seperti cempedak. Disebut cempedak air, karena batangnya menyerupai pohon cempedak (nangka) dan tumbuh dipinggir sungai-sungai kecil atau rawa-rawa. Pohon ini berdaun halus, batang licin, putih, dan bergetah, daun pendek tidak bersiku, dan sering tumbuh di rawang atau bencah.

Ukuran pohon batang sialang umumnya berdiameter pangkal sekitar 2 meter, bahkan lebih. Sedangkan tingginya paling kurang 30-50 meter. Batang sialang dapat bertahan hingga berumur 50 tahun.

Di sekeliling batang sialang terdapat rimba kepungan sialang. Rimba ini menjadi laman bermain lebah untuk menghisap nektar bunga yang nantinya akan menjadi madu lembah.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *