Mengantar Tande

Mandi Pelangi. Mak Andam memandikan pengantin setelah upacara bersanding. (foto: kemdikbud.go.id)

MENGANTAR TANDE adalah upacara memberi tanda ikatan atau perjanjian dalam tradisi perkawinan Inderagiri, Riau. Mengantar tande dilaksanakan setelah upacara bekate semonde.

Tanda ikatan biasanya dengan memberikan sebentuk cincin emas oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Penyerahan cincin pertunangan tersebut diserahkan oleh juru bicara dari pihak laki-laki kepada juru bicara pihak perempuan. Maka dengan ini si gadis sudah tidak boleh lagi mencari laki-laki lain.

Bacaan Lainnya

Barang-barang kelengkapan mengantar tande sebagai adat istiadat Melayu Indragiri adalah sebagai berikut:

  • Susunan daun sirih yang ditata pada Semboret (Didalam tempat khusus) yang dinamakan Sirih Besar.
  • Tepak Sirih yang berisikan:
  • Sirih 2 susun, setiap susun ± 9 (sembilan) lembar sirih yang bertemu uratnya.
  • Pinang yang sudah dikacip 5 s/d 9 ulas atau potong.
  • Gambir secukupnya.
  • Kapur secukupnya.
  • Tembakau secukupnya, jika tidak ada tembakau boleh diganti dengan rokok.
  • Kacip tetap berada di dalam tepak sirih.
  • Satu buah Poho untuk pakaian wanita lengkap disebut sebagai Poho pengiring untuk diberikan kepada si gadis untuk mengikatnya jangan sampai lari kepada laki-laki lain. Isi Poho tersebut sesuai dengan situasi dan kondisi.
  • Satu mangkok Bunga Rampai.
  • Sirih Pertunangan disusun di dalam Sanggan yang berasal dari kawan-kawan atau sahabat dari pihak laki-laki yang berisikan ucapan “Selamat Bertunangan”.

Setelah rombongan pihak laki-laki sampai ke rumah pihak perempuan, masing-masing juru bicara duduk berhadap-hadapan untuk menyampaikan dan menerima lamaran. Keduanya saling menyorongkan tepak sirih yang didahului oleh pihak perempuan sebagai yang menunggu. Dilanjutkan oleh pihak laki-laki menyorongkan tepak sirihnya pula.

Setelah masing-masing mencicipi sirih, perundingan pun dimulai. Perundingan tersebut ada yang memakai protokol ada juga yang tidak, tergantung kesepakatan kedua belah pihak. Pihak laki-laki menyampaikan maksud kedatangannya kepada pihak perempuan seraya menyerahkan sebuah cincin emas tanda ikatan pertunangan.

Dalam perundingan ditetapkan berapa lamanya masa pertunangan, kapan akan dilakukannya Ijab Kabul (Pernikahan). Pada acara tersebut juga dibicarakan sangsi adat Melayu antara lain:

  • Jika dalam masa pertunangan tidak jadi pernikahan (Ijab Kabul), kesalahan terjadi dari pihak perempuan maka tanda yang diantar atau yang sudah diterima oleh pihak perempuan dikembalikan 2 kali lipat.
  • Jika kesalahan dari pihak laki-laki maka cincin emas sebagai pengikat tidak dikembalikan lagi.
  • Jika diantara keduanya ada yang meninggal dunia maka tidak ada pengembalian.

Setelah perundingan selesai dan telah mendapat kesepakatan maka acara ditutup dengan doa. Selesai berdoa pihak perempuan sebagai tuan rumah menghidangkan makanan. Selesai makan pihak laki-laki pulang dan menyampaikan kepada orang tua laki-laki tentang isi pembicaraan dengan pihak perempuan. Pihak perempuan berpesan melalui juru bicaranya supaya si pemuda yang hendak menyunting si gadis agar datang pada malamnya untuk makan bersama keluarga si gadis. Si pemuda datang bersama teman-temannya tidak dengan orang tuanya.

Setelah acara perkenalan keluarga dan makan bersama si pemuda pulang dibekali dengan kue Poho. Kue Poho tersebut berada sampai 7 hari dirumah pemuda. Pemuda mengundang teman-temannya untuk mencicipi kue tersebut.  Teman-teman pemuda yang datang biasanya memberikan bantuan ala kadarnya sesuai dengan kemampuan.

Setelah 7 hari, maka Poho tadi dikembalikan kepada si gadis yang diantarkan oleh orang yang dipercaya serta teman-teman. Poho tersebut berisikan pakaian sebanyak jenis kue di Poho. Jika pada Poho terdapat 6 (enam) jenis kue maka pada saat pengembalian ada 6 macam pakaian untuk si gadis. 

Rujukan:
Dewan Bahasa dan Pustaka. 1999. Ensiklopedia Sejarah dan Kebudayaan Melayu, edisi kedua cetakan pertama. Selangor: Percetakan Dewan Bahasa dan Pustaka
Elmustian Rahman, dkk. 2012. Ensiklopedia Kebudayaan Melayu Riau. Pekanbaru: Pusat Penelitian Kebudayaan dan Kemasyarakatan Universitas Riau.
M. Daud Kadir, dkk. 1985. Upacara Tradisional Daur Hidup Daerah Riau. Pekanbaru: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *