Mamanda

Pertunjukan Mamanda di Bantar Kalimantan Selatan.

MAMANDA adalah genre teater tradisional yang terdapat di Inderagiri terutama di bagian Hilir. Mamanda pada awalnya merupakan seni pertunjukkan yang berasal dari Kalimantan Selatan. Seni pertunjukkan ini disebarkan oleh perantgau asal Banjar yang bermigrasi pada penghujung abad ke-19 ke muara Sungai Indragiri. Perjalanan dan perkembangan mamanda dari daerah asalnya menempuh banyak masa, pelbagai budaya, mulai dari Pontianak, Pulau Tujuh, dan sekitar Bintan di Kepulauan Riau, Singapura, kesultanan-kesultanan di Sumatra Timur, Siak Sri Indrapura, hingga ke Indragiri, menjadikan mamanda di Inderagiri tidak sama dengan yang aslinya di Banjar, Kalimantan.

Mamanda merupakan bentuk yang paling menonjol dibanding Madihin dan Lamut. Dibandingkan tempat asalnya terdapat perbedaan. Perubahan yang sedikit itu sesuai dengan fitrat lingkungan yang mengembannya dan hubungan dengan budaya yang sudah sedia ada di sekitar tempat tinggalnya. Dan perubahan itu tak pernah menjadi suatu masalah yang mengganjal karena tidaklah sampai merusak batang-tubuh seni pertunjukkan tersebut dalam sosoknya yang asli di tempat asal. Paling tidak seni pertunjukkan Mamanda terbuka untuk umum atau khalayak bukan banjar. Biasanya orang-orang yang bukan suku Banjar yang ingin menikmati atau mempelajarinya secara alami ikut aktip secara intensif dalam alir dan laur yang sudah ditentukan. Misalnya, penggesek biola dalam seni pertunjukkan Mamanda di Inderagiri Hilir ialah orang-orang Melayu yang pada mulanya tidak mengerti dialek Banjar (yang sebenarnya dekat sekali dalam bahasa Melayu) tapi kemudian masuk dan bersatu di dalamnya.

Bacaan Lainnya

Tatabusana dan properti pun disesuaikan seadanya dengan yang ada di lingkungan baru. Hal ini hanya mungkin terjadi karena seni pertunjukkan Mamanda ini pada hakikatnya tidak terlalu kaku dan ketat-padat yang ketentuan-ketentuan dasarnya tak boleh ditawar-tawar seperti simpul mati ikatan tali. Seni pertunjukkan yang bertolak dari hasrat manusia menghibur diri tentu saja berbeda dengan seni pertunjukkan yang kadar dan muatannya sarat dengan unsur magis-religius.

Meskipun paling menonjol, Mamanda sebenarnya suatu bentuk kesenian yang sangat sederhana ini, karena memang seni pertunjukkan ini lahir dari dan diperuntukkan kepada kalangan umum, bukan kesenian elit atau seni tinggi. Cukup bila ada sebuah gelangan kecil, dengan peralatan musik yang terdiri dari biola, tambur dan gong, bangku atau kursi, meja dan tongkat, bersama cerita dan tari maka pertunjukkan mamanda sudah bisa berjalan.

Di Semenanjung Malaysia, Komedi Indra Bangsawan amat mempengaruhi seni musik dan seni tari di Kalimantan Selatan, sehingga terbentuk suatu teater yang diberi nama Abdul Muluk atau Babdulmuluk atau Badamuluk. Teater ini dipelopori oleh Angah Putih dan Angah Datu Irang dari Margasari dan membawanya ke Pariuk, di kabupaten Tapin. Oleh sebab dalam dialog teater ini, raja kerap menggunakan kata ‘Mamanda’ se­bagai panggilan kepada Mangkubumi, teater ini dinamakan mamanda atau mamanda pariuk atau mamanda batang banyu. Orang Pariuk kemudian memperkenalkan mamanda ke daerah lain. Cerita yang terdapat dalam teater mamanda diambil daripada syair atau hikayat Melayu, antaranya termasuk­lah ‘Syair Abdul Muluk’, ‘Syair Siti Zubaidah‘, ‘Hikayat Si Miskin‘ atau ‘Marakarma‘, ‘Hikayat Cendera Hasan‘ dan ‘Hikayat Seribu Satu Malam‘.

Pertunjukan Mamanda
Dalam persembahan mamanda, terdapat gabungan lakonan dan dialog, tarian dan nyanyian. Persembahan ini diiringi oleh musik tabuhan yang terdiri daripada babun (gendang berkulit pada kedua-dua tampuknya), agung (gong), dan rebab. Sekarang ini, biola telah meng-gantikan rebab.

Mamanda tidak mempunyai naskah. Para pelakon hanya diberikan jalan cerita secara kasar. Semasa persembahan, para pelakon melakukan improvisasi untuk menghidupkan peranan masing-masing. Pada umumnya, para pela­kon memegang peranan secara tetap, sehingga menguasai peranan mereka. Semua pelakon mamanda terdiri dari­pada lelaki yang memegang semua jenis watak.

Jalan cerita mamanda adalah mengenai kehidupan raja dan kerajaan. Pada setiap persembahan, watak yang kerap muncul ialah Raja, Wazir, Mangkubumi, Perdana Menteri, Panglima Perang atau Imam Perang atau Kepala Pertanda, Harapan Pertama, Harapan Kedua, Puteri Raja, Raja Jin, Anak Muda, Perompak, dan Khadam atau Badut. Pada mulanya, pakaian para pelakon hanya pakaian sehari-hari. Apabila pengaruh Barat masuk pada abad pertengahan, pakaian Barat menjadi tata pakaian teater mamanda.

Mamanda dapat dipersembahkan di lapangan terbuka atau di tempat-tempat tertutup. Persembahan biasanya dimulai dengan baladon, iaitu acara pcmbukaan yang ditarikan oleh tujuh orang pelakon sambil menyanyi secara bergilir-gilir. Penyanyi terakhir ialah Kepala Ladon iaitu orang yang paling berpengalaman. Selesai baladon barulah cerita dimulakan. Biasanya cerita berakhir de­ngan kebahagiaan, yang baik selalu menang, yang jahat menerima hu’kuman.

Pada tahun 1937, teater mamanda sampai ke Tubau, di kabupaten Hulu Sungai Tengah, Malaysia. Dari Tubau, muncul teater mamanda yang agak berbeda daripada mamanda pariuk yang kemudian dinamakan mamanda tubau. Mamanda ini tidak memulakan persembahan dengan ‘baladon’ tetapi dengan ‘konon’, yang dipersembahkan oleh tiga orang pelakon. Mereka menyusun cerita sendiri yang disesuaikan dengan kehidupan setempat.

Kini mamanda disesuaikan dengan keadaan semasa. Mamanda tidak lagi dipersembahkan sepanjang malam, namun ciri khasnya sebagai teater mamanda tetap dikekalkan. Tarian, nyanyian dan dialog tidak lagi panjang. Peranan perempuan yang dahulunya dilakonkan oleh lelaki kini digantikan dengan perempuan. Bahasa yang digunakan dalam nyanyian dan dialog bukan hanya dalam bahasa Banjar bercampur bahasa Melayu atau bahasa Indonesia, tetapi sepenuhnya menggunakan bahasa Indonesia.

Rujukan:
1. Dewan Bahasa dan Pustaka. 1999. Ensiklopedia Sejarah dan Kebudayaan Melayu, edisi kedua cetakan pertama. Selagor: Dewan Bahasa dan Pustaka
1. Elmustian Rahman, dkk.. 2012. Ensiklopedia Kebudayaan Melayu Riau. Pekanbaru: Pusat Penelitian Kebudayaan dan Kemasyarakatan Universitas Riau

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *