Dikir Rebana

Babano yang digunakan dala dikir rebana. (foto: kosabudaya.id)

DIKIR REBANA adalah nyanyian tradisional berunsur keagamaan. Penamaan dikir rebana kerana orang yang berdikir menggunakan rebana (gendang satu muka) sebagai alat pengiring. Dikir ini dinyanyikan dalam upacara tertentu seperti perkawinan, kenduri selamat, berkhatam, dan perayaan Maulid Nabi.

Dikir rebana awal sudah ada di Daik Lingga, kemudian dibawa ke Inderagiri dan beberapa pesisir Pulau Sumatra, lalu dibawa ke Betawi. Dari Betawi dibawa oleh pendakwah ke Semenanjung Malaysia, seperti Kampung Berhala Gantang, Temerloh, Pahang dan kemudian tersebar ke daerah Pekan, Temerloh dan Lipis. Setiap kelompok dikir biasanya terdiri dari lima hingga enam orang untuk menjaga terpeliharanya kemerduan nyanyian terutama jika mereka saling sambut-menyambut suara di samping paluan rebana masing-masing. Para pendikir biasanya memakai baju Melayu.

Bacaan Lainnya

Seni kata dalam dikir rebana banyak memakai bahasa Arab yang memuji kebesaran Tuhan dan memuliakan Rasul. Mereka berdikir dengan panduan teks khusus yang mempunyai 14 keturunan dalam bentuk nazam, tetapi tidak memakai tanda yang sebenarnya. Pendikir biasanya tegak, namun di semenanjung, pendikir lebih beradab, mereka duduk bersila membentuk lingkaran mengelilingi teks yang diletakkan di tengah-tengah di atas bantal. Mereka berdikir secara bergiliran mengikuti putaran ke kiri atau ke kanan. Pada peringkat pertama berdikir, rebana yang ditepuk diletakkan di atas lantai di hadapan sila, dan pada pering­kat kedua, rebana diletakkan di atas riba. Rebana ditepuk dengan menggunakan empat jari. Terdapat tiga jenis tepukan yaitu tepukan cop, tepukan tung dan jentikan.

Tempat duduk pendikir berbeda tergantung acaranya. Dalam acara perayaan, mereka mengiring pembesar atau tetamu dari belakang. Dalam acara perkawinan, mereka duduk menghadap pengantin dan dalam acara berinai besar, mereka ditempatkan di bagian ujung selasar.

Dikir rebana biasanya dipersembahkan selepas salat isyak hingga subuh. Oleh itu, berhampiran dengan pendikir, diletakkan mangkuk berisi gula batu, pati santan, cengkih, kulit kayu manis, air mati dan tepak sirih yang bertujuan untuk memulihkan dan memelihara suara para pendikir. Mereka juga berehat setelah selesai satu su­rat dan dijamu minuman dan kuih-mueh.

Setelah tamat berdikir, mereka dihidangkan nasi khas yang disebut “’nasi habibun” dan dibekalkan buah tangan seperti pulut, telur, dan kuih-muih.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *