Balam Suntai

BALAM suntai adalah tumbuhan langkah penghasil getah yang diyakini sebagai asal usul nama “Muntai.” Muntai merupakan penamaan awal Bengkalis sebelum bernama Bengkalis. Tumbuhan ini banyak tumbuh di hutan tanah rendah di Pulau Bengkalis, yang dibawa oleh pedagang yang akan berlayar ke Melaka. Penyebutan “suntai” lama-kelamaan berubah secara morfologis menjadi “muntai”.

Kawasan Muntai sebagai penghasil balam suntai, berkembang menjadi perkampungan ramai yang disinggahi para pedagang. Hal ini tidak terlepas letak geografis Muntai yang berdekatan dengan Bandar Melaka yang merupakan bandar teramai saat itu.  Kampung ini mulanya dipimpin oleh batin (kepala suku) dari suku-suku yang terdapat di Muntai.

Bacaan Lainnya

Salah seorang pendatang dari Melaka yang melihat perkembangan Muntai yang maju pesat, mengusulkan kepada batin-batin di Muntai untuk menunjuk seseorang menjadi Datuk Bandar yang akan mengatur tatanan kehidupan masyarakat Muntai. Usulan tersebut diterima dengan baik, dan menunjuknya menjadi Datuk Bandar di negeri tersebut dengan gelar Datuk Bandar Bengkalis.

Setelah Datuk Bandar Bengkalis pertama meninggal dunia pada 1675, ia lalu digantikan oleh anak perempuannya Encik Mas. Pada masa kepemimpinannya, Encik Mas mendirikan badan keamanan Bandar, namun beliau tidak menginginkan pembentukkan angkatan bersenjata, hal ini dikarenakan jika mendirikan angkatan bersenjata maka akan menimbulkan niat menyerang negeri lain.

Pada 1680 Masehi, Encik Mas dikunjungi oleh empat putra Sultan Wajok dari Sulawesi Selatan. Keempat putra Sultan Wajok ini adalah Daeng Tuagik, Daeng Puarik, Daeng Ronggik, dan Daeng Senggerik. Mereka datang ke Bengkalis dengan menggunakan kapal perang dari kerajaan Wajok.

Kedatangan empat putra Sultan Wajok ini adalah bermaksud untuk mencari persahabatan, karena itulah Encik Mas mengizinkan mereka tinggal di Bengkalis. Setelah beberapa lama tinggal di Bengkalis mereka melanjutkan perjalanan kembali namun Daeng Tuagik dan saudara yang paling tua tidak ikut melanjutkan perjalanan dengan alasan  belum puas tinggal di Bengkalis.

Selama tinggal di Bengkalis, ternyata Daeng Tuagik jatuh hati dengan Encik Mas, dan ketika niat itu disampaikan kepada Encik Mas, Datuk Bandar Bengkalis ini menerima niat tersebut dengan baik. Namun ada syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh Daeng Tuagik jika telah menjadi suaminya nanti. Syarat-syarat tersebut adalah keturunan mereka (anak dari Daeng dengan Encik Mas) hingga ke anak cucunya nanti tidak boleh memakai gelar Sulawes. Selain itu, syarat lainnya adalah Daeng Tuagik tidak boleh membentuk angkatan bersenjata di laut, sebagaimana yang terdapat dalam dasar pemerintahan Bengkalis.

Satu tahun kemudian diangkatlah Daeng Tuagik sebagai Ketua Panglima-panglima yang ada di Bengkalis dengan gelar Panglima Tuagik di bawah pemerintahan Datuk Bandar Bengkalis.

Setelah menikah sekian lama, pada 1690 Masehi Encik Mas melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Encik Jamal, anak pertama Encik Mas ini lahir setelah ibukota Bandar Bengkalis dipindahkan dari Muntai ke Selat Bengkalis. Pada usia 30 tahun Encik Jamal diangkat oleh ibunya menjadi Datuk Bandar Bengkalis. Beliau memiliki istri yang bernama Encik Mahiran yang dinikahi pada 1720.

Balam suntai merupakan tumbuhan penghasil getah dan kayu yang banyak dijumpai di daerah-daerah gambut dan rawa hutan tanah rendah. Getahnya digunakan sebagai  bahan baku pembuatan mainan anak-anak. Sedangkan kayunya mempunyai keawetan dan kekuatan yang sangat baik, sehingga banyak digunakan sebagai bahan bangunan, alat rumah tangga, dan alat musik tradisional.

Pohon balam sungai mampu mencapai ketinggian hingga 30 meter dan diameter 0,5 meter. Berbatang tegak dengan warna merah kecokelat-cokelatan. Kulit jaringan kayunya berwarna kuning sampai merah dan bergetah putih. Berdaun tunggal dengan bentuk bundar telur sungsang sampai jorong. Bunganya mengelopak pada ketiak daun.

Rujukan
Hasan Junus. 2002. Sejarah Kabupaten Bengkalis. Bengkalis: Pemerintah Daerah Kabupaten Bengkalis
Elmustian Rahman, dkk. 2012. Ensiklopedia Kebudayaan Melayu Riau. Pekanbaru: Pusat Penelitian Kebudayaan dan Kemasyarakatan Universitas Riau
Timothy P. Barnard. 2006. Pusat Kekuasaan Ganda: Masyarakat dan alam Siak & Sumatra Timur, 1674-1827, Pekanbaru: P2KK-Unri


Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *