Amuk

Ilustrasi. (foto: kosabudaya.id)

Pakar penaskahan Melayu Hans Overbeck dalam bukunya yang telah tersebut di atas juga menerangkan tentang ‘amuk’ yang dalam bahasa Jerman disebut Amoklaufen’. Akan tetapi penjelasan Mahatir bin Mohamad sudah sedemikian bagusnya sehingga dapat menutup litup-litup apa yang ditulis oleh Hans Overbeck dalam bukunya pada halaman 158.

Seorang sastrawan Austria bernama Stefan Zweig (1881-1942) mengarang sebuah kisah yang menggambarkan amuk Melayu dalam karyanya “Die Amoklaufer” dimuat Sternstunden der Menscheit (1928) yang kalau diterjemahkan ke bahasa Indonesia dapat menjadi “Saat Berbenar Umat Manusia”.

Bacaan Lainnya

Beberapa peristiwa ‘amuk’ besar yang terjadi sepanjang perjalanan sejarah orang Melayu dimulai dari ‘amuk’ Hang Jebat yang kabarnya sampai melumpuhkan kota Melaka. Tapi dari paparan dalam Sejarah Melayu tidaklah nampak satu imbas pun yang menunjukkan bahwa Hang Jebat bertujuan hendak melakukan “regicide” atau pembunuhan terhadap sang raja yang senantiasa berakhir dengan suatu kegoncangan besar di manapun terjadinya.

Dalam salah satu pemaknaan terhadap Sejarah Melayu, semua keterangan yang melingkar di sekitar tokoh “pendurhaka” ini menerangkan bahwa ia hanyalah hendak menuntut bela atas hukuman yang zalim ditujukan kepada sahabatnya Hang Jebat. ‘Amuk’ yang benar-benar sampai ke tingkat “regiĀ­cide” ialah yang dilakukan oleh Laksemana Johor yang berasal dari Bintan bernama Megat Seri Rama. la merasa sangat dizalimi oleh Sultan Mahmud karena semasa ia berada di tengah lautan untuk mengusir para lanun, isterinya yang sedang hamil tua dibunuh orang sultan itu disebabkan hal yang sangat sepele. Kisah yang sangat luas tersebar ini sehingga dimanfaatkan dalam berbagai bentuk kesenian terutama sastra dan seni pertunjukan menamakan kejadian ini suatu kezaliman besar disebabkan hanya oleh seulas nangka. Konon isteri Laksemana itu mengidam buah nangka dan penjaga kebun memberikan seulas kepadanya padahal sang sultan dipantangkan makan sisa siapapun.

Amuk lainnya yakni peristiwa berlangsung di Johor Lama ketika kerajaan itu diserang dari luar. Raja muda kerajaan itu dalam keadaan putus asa lalu membunuh isteri dan anak-anaknya, lalu melarikan diri ke dalam hutan dengan para pengikut setianya. Dalam banyak kisah yang menyerupai pola ini biasanya pelaku ‘amuk’ itu lalu membunuh dirinya. Hugh Clifford ada juga mengarang kisah yang menyerupai cerita raja muda di Johor Lama ini. Akan tetapi karena pejabat Inggeris ini mengarang semi fiksi sukarlah mengatakan bahwa karyanya itu terjadi di suatu tempat dan pada suatu masa yang tertentu. Pengarang seperti Clifford inilah yang disebut sebagai orang yang mengembara di antara dua dunia sebagimana dibidalkan oleh William Shakespeare: Wandering between two worlds, one dies, the other powerless to be born.

Dalam kebudayan Melayu kontemporer, kata amuk digunakan oleh sastrawan Sutardji Calzoum Bachri, dalam kumpulan puisinya yang kedua. Amuk diterbitkan pada bulan Januari 1977 oleh Yayasan Kesejahteraan Karyawan Pusat Kesenian Jakarta. Kumpulan ini mengandungi 15 puisi (1973-1976), yaitu sebuah puisi panjang, “Amuk” (24 halaman) dan 14 puisi pendek. Malah ada yang begitu pendek, iaitu terdiri daripada satu baris dan satu kata seperti “Iuka” terdiri daripada ‘ha ha’ dan “Kalian” terdiri daripada ‘pun’.

Puisi dalam kumpulan Amuk ini juga mengingatkan pembaca kepada mantera, dan dikatakan puisi mantera. Pembaca merasa perlu menginterpretasikan sebagai manĀ­tera, meskipun ini tidak seluruhnya benar. Oleh sebab itu, yang dianggap utama pada puisi dalam kumpulan Amuk ialah permainan bunyi, dan ini membawa pembaca ke dunia makna yang tidak tercapai oleh pengucapan bahasa biasa. Malah ada kemungkinan bahwa unsur bahasa itu hanya deretan bunyi yang sebelumnya tidak pernah digunakan untuk merujuk sesuatu di luarnya, yang memang mengikat puisi Sutardji.

Rujukan:
1. Dewan Bahasa dan Pustaka. 1999. Ensiklopedia Sejarah dan Kebudayaan Melayu, edisi kedua cetakan pertama, Selagor: Dewan Bahasa dan Pustaka
2. Hasan Junus. 2002. Karena Emas di Bunga Lautan, sekumpulan esei-esei sejarah. Pekanbaru: Unri Press
3. R.J. Wilkinson. 1959. A MalayEnglish Dictionary. London: Macmillan & Co. Ltd.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *