Tunjuk Ajar Melayu

DS Tenas Effendy, pengumpul Tunjuk Ajar Melayu/foto: ist

TUNJUK ajar ialah pernyataan dalam bahasa khas, yang mengemukakan petuah, nasehat, amanah, petunjuk, pengajaran dan suri teladan untuk mengarahkan manusia kepada kehidupan yang benar dan baik. Atau, dalam pengertian keagamaan, membawa manusia ke jalan yang lurus dan diridhoi Allah, yang berkahnya menyelamatkan manusia dalam kehidupan di dunia dan akhirat. 

yang disebut tunjuk ajar dari yang tua/ petunjuknya mengandung tuah/ pengajarannya berisi marwah/ petuah berisi berkah/ amanahnya berisi hikmah/ nasihatnya berisi manfaat/ pesannya berisi iman/ kajinya mengandung budi/ contohnya pada yang senonoh/ teladannya di jalan Tuhan (Tenas Effendy, 2015: 10-11)

Bacaan Lainnya

Kandungan
Kandungan (isi) ‘tunjuk ajar’ Melayu berpaksi pada ajaran Islam, norma-norma sosial, serta tafsir budaya yang disimpul-simpai melalui hubungan timbal-balik yang mendalam antara manusia Melayu dengan lingkungan luasnya. Ini misalnya tercermin dari isi tiga rangkap/bait pantun berikut: 

apalah isi periuk besar
beras ditanak menjadi nasi
apalah isi tunjuk ajar
isinya syara’ dan sunnah nabi

banyak periuk dijerang orang
periuk besar tudungnya hitam
banyak petunjuk dikenang orang
tunjuk ajar mengandung alam

apalah isi periuk besar
isinya padi dan beras kunyit
apalah isi tunjuk dan ajar
isi mengandung bumi dan langit
(Tenas Effendy, 2015: 18)

Butir-butir nilai yang menjadi kandungan ‘tunjuk ajar’ seringkali bersandar kepada pernyataan “kata orang tua-tua”, atau disebut juga “orang patut”, yaitu sebutan yang merujuk kepada seseorang yang berwawasan luas dan kaya pengalaman. Pemerolehan wawasan dan pengalaman itu pada umumnya bersumber dari ‘bacaan’ terhadap alam (melalui interaksi ekologis) dan kitab-kitab otoritatif. ‘Pembacaan’ terhadap alam melahirkan apa yang disebut sebagai tafsir empiris, yang kesahihannya tertakluk kepada perubahan ekologis dan proses sejarah yang mengiringinya. 

Namun setelah agama Islam merasuki kebudayaan Melayu, tafsir-tafsir empirik itu menggapai keabsahannya sebagai nilai yang dianggap kekal, apabila ia bersesuaian dengan pesan dan nilai dari kitab-kitab otoritatif (Al-Quran, Hadits, kitab-kitab para ulama dan aulia). Sedangkan pembacaan terhadap kitab-kitab otoritatif mengalami proses penegasan dengan realitas, melahirkan tafsir-tafsir berupa butir-butir nilai yang mutlak. Bila realitas tidak bersesuaian dengannya, maka realitas itu harus diubah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *