Petalangan

Perkampungn Rumah Adat Petalangan. Perkampungan ini terdapat sebuah "laut" danau yang menjadi pusat kewibawaan adat Petalangan. Di perkampungan ini juga terdapat Balai Gunjung Laut, Museum Tuk Monti, Gedung Putri Lindung Bulan, selasar dan mushola/foto: kosabudaya.id

PETALANGAN adalah salah satu suku “asli” yang bermukim di kawasan hutan pedalaman Sungai Kampar, Riau. Hutan tempat tinggal mereka disebut Hutan-Tanah Wilayat (juga disebut Hutan Tanah Ulayat Petalangan, Hutan Tanah Soko, Hutan Tanah Adat”, Hutan-Tanah Pebatinan atau Hutan-Tanah Petalangan) yang diwarisi turun-temurun sejak masa Kerajaan Kampar (yang kemudian menjadi kerajaan Pelalawan, berakhir tahun 1945).

Secara geografis, Perkampungan Petalangan menempati wilayah dengan luas sekitar 8.490 kilometer persegi. Pemukiman Orang Petalangan sebagian besar berada di tepi hutan, di dalam hutan, dan di tepian Batang Kampar dan anak-anak sungainya, seperti Segati, Batang Nilo, Napuh, Telayap, Ransang, Ara, Panduk, dan Kerumutan.

Bacaan Lainnya

Asal-Usul
Orang Petalangan juga sering disebut sebagai Orang Talang yang berarti orang bambu. Nama ini berasal dari kebiasaan nenek-moyang mereka mengambil air sungai dengan menggunakan buluh talang. Walaupun Orang Petalangan memakai istilah ini sebagai penunjuk diri secara khusus, mereka juga menganggap diri mereka sebagai orang Melayu, sebagai etnik Melayu asli. Sementara masyarakat Melayu pesisir menyebut mereka sebagai Orang Darat karena mereka bermukim jauh di daratan (pedalaman).         

Sebagian ahli berpendapat bahwa Orang Petalangan merupakan “sisa-sisa” suku bangsa Proto Melayu (Melayu Tua, yang datang sekitar tahun 2500-1500 SM), sebagian lainnya mengatakan mereka berasal dari suku bangsa Deutro Melayu (Melayu Muda, yang datang sekitar tahun 300 SM). Namun, dari kisah asal-usul atau tombo (cerita terombo) yang dimiliki oleh suku-suku Petalangan pada umumnya, disebutkan bahwa nenek-moyang mereka datang dari Johor yang disimbolkan sebagai laut. Dalam Bujang Tan Domang misalnya, digambarkan bahwa nenek-moyang mereka adalah bangsawan Johor yang dibesarkan oleh keluarga Kerajaan Pelalawan. Menurut kisah ini, pemimpin suku-suku Petalangan dianugerahi gelar monti ajo (menteri raja) oleh kerajaan Pelalawan, sebagai imbalan atas penyerahan tanah-tanah mereka kepada sultan. Orang Petalangan mempersembahkan hasil hutan, pemantun, penari, dan pemusik untuk pesta pernikahan dan perayaan Idul Fitri kepada kerajaan.

Orang Petalangan terbagi dalam suku-suku (matrilineal lineage group), yaitu Sengerih, Lubuk, Pelabi, Medang, Piliang, Melayu, Penyabungan, dan Pitopang (menurut tombo Petalangan, Suku Penyabungan dan Suku Piliang diyakini berasal dari Minangkabau di Sumatera Barat). Di masa kerajaan Pelalawan, suku-suku tersebut menerima pengakuan formal dari pemerintah, dan mendapatkan hak memiliki serta hak menggunakan 29 kawasan teritorial yang berbasis suku, Utan-tana Pebatinan Kuang Oso Tigo Puluo (Hutan-tanah Pebatinan Kurang Satu Tiga Puluh). Masing-masing wilayah diperintah oleh seorang batin (pemimpin adat), dan disebut kawasan budaya atau wilayah hutan tanah. Hutan-tanah itu tersebar di empat wilayah kedatuan kerajaan yaitu: Kedatuan Datuk Laksemana Mangku Diraja, Kedatuan Datuk Engku Raja Lela Putera, Kedatuan Datuk Kampar Samar Diraja dan Kedatuan Datuk Bandar Setia Diraja. Wilayah kedatuantersebut sekarang terpecah menjadi beberapa kecamatan yaitu Kecamatan Pengkalan Kuras, Langgam, Bunut, Kuala Kampar, Pangkalan Kerinci, Pangkalan Lesung, Ukui, Pelalawan, Kerumutan dan Teluk Meranti.

Ketika Indonesia merdeka pada tahun 1945, Sultan Pelalawan terakhir mengundurkan diri secara formal dan menyatakan kesultanannya berada di bawah kekuasaan Republik Indonesia. Pebatinan (wilayah berbasis suku) terpecah menjadi unit administratif desa. Batin digantikan oleh kepala desa yang ditunjuk oleh pemerintah.

Bahasa
Dalam kehidupan sehari-hari, sebagian besar warga Petalangan memakai dialek lokal Melayu Riau yang dikenal sebagai ‘Bahasa Melayu Kampar’. Bahasa Indonesia baku sesekali digunakan oleh pemimpin desa dalam konteks resmi, seperti pada pertemuan dan musyawarah yang melibatkan orang luar. Namun, dalam acara sosial tradisional, mereka memerlukan seseorang untuk menampilkan bentuk khusus genre tradisi lisan dalam dialek lokal, yang disebut cakap adat.

Agama dan Adat-istiadat
Orang Petalangan beragama Islam. Ketika Kesultanan Pelalawan menetapkan Islam sebagai agama resmi di akhir abad ke-15, orang Petalangan menyesuaikan sistem adat mereka dengan hukum dan nilai-nilai Islam. Mereka menerjemahkan ke-Islam-an mereka dengan tidak memakan daging babi, berpuasa pada bulan Ramadhan, sembahyang, dan menjalankan ritual peralihan Islam (berkhitan, perkawinan, dan pemakaman yang Islami).        

Meskipun menyatakan diri sebagai muslim, sebagian besar warga Petalangan percaya akan adanya makhluk gaib. Mereka percaya bahwa setiap makhluk di dunia memiliki roh penjaga okuan. Menurut mereka, kehidupan dan kesejahteraan makhluk hidup—termasuk tumbuhan, binatang, dan manusia—sangat tergantung pada makhluk yang menghuni alam gaib. Selain okuan, terdapat bebeberapa jenis makhluk gaib lainnya  seperti jin, mambang, deo (dewa), jembalang, orang bunyian, penunggu atau puaka, hantu dan lain-lain. Mereka percaya, makhluk gaib itu ada yang baik dan ada pula yang jahat. Makhluk gaib yang baik seperti okuan dapat dijadikan sahabat. Untuk menjaga hubungan dengan alam gaib, mereka melaksanakan berbagai ritual dan mematuhi pantang-larang, agar makhluk gaib yang baik tetap bersahabat dengan mereka dan yang jahat tidak mengganggu atau mendatangkan bencana.

Ritus pengobatan dan praktik magis Orang Petalangan, yang menguak inti kultural mereka mengenai harmoni dan tolong-menolong antara makhluk hidup dan makhluk gaib yang disintesakan dengan Islam, masih hadir dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa praktik religi tradisional, bahkan telah diolah dan direvitalisasi dalam bentuk ‘tradisi,’ ‘kesenian,’ dan ‘kebudayaan,’ yang mencerminkan nilai-nilai warisan leluhur. Misalnya,  ritual-ritual belian, menetau tanah, membuka hutan, mandi air jejak tanah, menumbai, mendirikan bangunan atau menegakkan rumah,danberamu kayu; serta kesenian-kesenian seperti Tari Dewo, Main Anggung, Lukah Gilo (Main Lukah), dan Aden. Mereka tidak menganggap kepercayaan sehari-hari ini bertentangan dengan identitas Islam mereka. Malahan, identitas Islam ini menjadi sumber kekuatan lain yang mendukung kekuatan spiritual mereka.

Organisasi Sosial dan Kekerabatan
Secara kultural orang Petalangan menganut sistem kekerabatan matrilineal, namun mendekati patriarkat yang berasal dari budaya Melayu yang sangat kuat, karena hanya laki-laki yang dapat mengatur dan menjalankan adat. Kepemimpinan tradisional, kekuatan spiritual, dan juga pengetahuan atau potensi esoterik diturunkan melalui garis ibu, namun garis ibu ini menekankan relasi antara paman dari pihak ibu yang disebut mamak dengan kemenakan­nya.   

Bagi Orang Petalangan, perkawinan dalam kelompok matrilineal dipantangkan, sedangkan perkawinan sepupu silang sangat dianjurkan. Perkawinan sepupu silang ini disebut pulang ke bako, yang berarti ‘kembali ke asal’. Dalam perkawinan sepupu silang, seorang laki-laki boleh menikahi anak perempuan bibi dari pihak ayahnya, karena mereka berasal dari suku yang berbeda. Setelah menikah laki-laki tinggal di dekat atau bersama keluarga mertuanya.

Selain perkawinan sepupu silang, perkawinan antarwarga sedesa juga lazim ditemui. Perkawinan ini dipengaruhi oleh posisi laki-laki sebagai mamak yang bertanggung-jawab pada kemenakannya, dan sebagai suami serta ayah di dalam keluarganya sendiri. Menurut adat Petalangan, tanggung jawab laki-laki terhadap kemenakannya jauh lebih besar dibandingkan terhadap anak-anak kandungnya. Biasanya, harta warisan diutamakan jatuh kepada kemenakan.

Pemimpin adat masing-masing suku berdasarkan kekerabatan adalah ninik-mamak. Ninik-mamak menjadi orang yang bertanggung-jawab terhadap penyelesaian masalah yang terjadi di dalam sukunya. Seandainya terjadi masalah dengan suku lain, ninik-mamak dari kedua suku saling berkonsultasi untuk menyelesaikannya.

Pemimpin formal dalam pemerintahan sehari-hari pada masing-masing wilayah leluhur adalah batin. Sedangkan pemimpin semua batin Petalangan adalah monti ajo. Ketika pemerintah menunjuk kepala desa untuk menggantikan posisi batin, maka kepemimpinan batin hanya bersifat simbolis. Dalam melaksanakan tugasnya, batin dibantu oleh beberapa orang pemangku adat yang disebut ketiapan, yang terdiri dari monti, antan-antan, dubalang dan tongkat. Kategori pemimpin lain adalah pengurus masjid, yang identik dengan pengertian umum tentang ulama. Struktur sosial di atas tercermin dalam aturan mas kawin yang ditentukan sesuai dengan posisi sosial ayah pengantin perempuan.

Pemanfaatan tanah dan sistem pewarisan
Aturan adat membagi wilayah Petalangan menurut fungsinya ke dalam empat kategori: (1) Tanah kampung: desa, tempat tinggal; (2) Tanah dusun: tanah untuk kebun tanaman keras; (3) Tanah peladangan: ladang padi; (4) Rimba larangan: terdiri dari rimba kepungan sialang yaitu rimba pohon sialang (pohon tempat lebah bersarang; menumbai), dan rimba simpanan yaitu rimba tempat berbagai jenis pepohonan dan binatang hutan hidup. Pada kategori itu, hanya tempat tinggal dan kebun yang diwarisi turun-temurun sebagai harta pribadi. Sedangkan ladang padi dan hutan menjadi harta suku sepanjang masa, dan orang-orang hanya memiliki hak memanfaatkan lahan dan sumber daya alamnya.

Adat juga mengatur tentang waktu pengolahan tanah dan aneka jenis tanaman panen dan sayuran yang ditanam. Warga hanya dapat bertanam padi dan sayuran di ladang tertentu selama tiga tahun, dan mereka tidak diperbolehkan menanam tanaman keras di lahan tersebut. Dalam pemanfaatan hutan, warga tidak diizinkan memasuki atau merusak rimba larangan, dan pelanggarannya akan diganjar denda.

Pewarisan pribadi maupun komunal terhadap tanah ada dua jenis, yaitu tanah pusako yang diwariskan kepada anak dan kemenakan, dan tanah pesukuan yang diwariskan kepada suku. Menurut adat, laki-laki tidak memiliki hak waris atas tanah, karena tanah hanya dapat diwarisi oleh perempuan. Namun, jika tanah tersebut dijual uangnya dapat dibagi antara pewaris laki-laki dan perempuan.

Mata Pencaharian
Orang Petalangan hidup dari berkebun. Mereka menanam padi sekali setahun untuk kebutuhan pokok. Biasanya pertanian dimulai dengan membuka hutan di bulan Juli atau Agustus, dan menanam padi di bulan September. Padi dituai pada akhir bulan Februari atau Maret, kemudian dilanjutkan dengan menanam jagung dan sayur-sayuran. Ritual persembahan dilakukan di setiap tahapan pertanian. Sedangkan sumber pendapatan terpenting mereka berasal dari perikanan dan karet.

Bagi Orang Petalangan, berladang padi tidak hanya menjadi sumber penghasilan, tetapi juga sebagai wujud tanggung-jawab orang tua terhadap anak dan keluarganya. Sistem peladangan Orang Petalangan terbagi dua, yaitu ladang kasang atau ladang tugal (berladang di tanah pematang atau daratan) dan ladang bencah atau ladang tabur (berladang di tanah rawa). Jenis padi yang ditanam antara lain Pandak, Cerai, Jambai, Napal, Telur Belut, Bunga Rambut, dan beberapa jenis padi pulut (ketan). Panen dilakukan setelah enam bulan. Biasanya, selain padi, di ladang yang sama ditanam mentimun, pepaya, ubi-ubian, kacang, labu, bayam dll.

Perkebunan karet baru dikenal pada tahun 1930-an. Bagi yang tidak memiliki kebun sendiri, dapat bekerja sebagai penyadap karet di kebun orang lain dengan sistem bagi hasil yang disepakati kedua belah pihak. Hasil kebun lain adalah buah-buahan seperti rambutan, durian, manggis, rambai, mempelam, ambacang, jengkol, jambu, limau dan lain-lain yang umumnya untuk keperluan sendiri atau keluarga. Mereka juga mengumpulkan hasil hutan berupa getah-getah kayu balam merah, jelutung, sondeh, damar dan gaharu, buah-buahan rimba, rotan, selain binatang buruan. Ada juga sebagian yang mencari ikan di sungai. Di pekarangan rumah, mereka biasanya beternak ayam, itik, kambing, dan belakangan ini sapi.

Pekerjaan sebagai buruh mulai terbuka sejak adanya perkebunan sawit di dekat lokasi tempat tinggal mereka. Aktivitas perdagangan dalam skala kecil ditandai dengan adanya kedai-kedai yang menjual kebutuhan sehari-hari di perkampungan mereka. Ada yang menjadi pedagang perantara, yang membawa hasil pertanian dan hutan dari warga kampung untuk dijual ke pasar. Selain itu, ada pula beberapa orang yang menjadi pegawai negeri, yang bekerja di kantor desa atau kecamatan. Sumber nafkah lain yang cukup besar manfaatnya adalah kerajinan rakyat. Pada umumnya orang Petalangan memiliki keterampilan membuat anyaman pandan dan alat-alat rumah tangga.

Seni Tradisi Lisan
Bentuk seni tradisi lisan yang ada dalam masyarakat Petalangan antara lain pantun, nyanyi panjang, berbilang undang, dan monto (mantera). Sedangkan genre religius lisan utama dengan komponen-komponen spiritual antara lain monto (mantera), belian, dan menumbai.

Rujukan:
Yonhee Kang. 2005. Untaian Kata Leluhur: marjinalitas, emosi, dan kuasa kata-kata magi di kalangan orang Petalangan Riau. Pekanbaru: Pusat Penelitian Kebudayaan dan Kemasyarakatan Universitas Riau
Sudirman Shomary. 1998. Nyanyi Panjang Orang Talang di Riau: Suatu Kajian Kesenian. Tesis, Jabatan Persuratan Melayu Universiti Kebangsaan Malaysia
Tenas Effendy. 1995. Sekilas tentang Orang Talang di Riau, Pekanbaru: Dewan Kesenian Riau
Tenas Effendy. 2007. Bujang Tan Domang: Sastra Lisan Orang Petalangan, Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya
UU Hamidy. 1991. Masyarakat Terasing Daerah Riau di Gerbang Abad XXI. Pekanbaru: Pusat Kajian Islam dan Dakwah Universitas Islam Riau
UU Hamidy. 1987. Rimba Kepungan Sialang. Jakarta: Balai Pustaka

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *