Nandong

Nandong. Nyanyian pengantar tidur yang berkembang di Rantau Kuantan, Riau. (foto: kosabudaya.id)

NANDONG adalah genre sastra lisan yang dituturkan dalam bentuk nyanyian pengantar tidur yang berkembang di Rantau Kuantan, Riau. Nandong disampaikan dengan irama yang khas, sendu dan mendayu-dayu. Penyajiannya merupakan bentuk kedekatan penandong dengan yang dinandongkan, dengan lirik yang mengadung ajaran-ajaran agama, nasihat, kasih sayang, harapan-harapan, kritikan, kerinduan ataupun keluh kesah yang diucapkan secara langsung ataupun melalui pantun, dan perumpamaan-perumpamaan.

Secara harfiah, nandong berarti nyanyian, alunan, lagu, atau irama (dengan maksud yang mendengar merasa terbuai) yang dibawakan sebagai pengantar (membujuk) tidur. Makna nandong sendiri mendekati arti senandung, namun memiliki ruang yang lebih sempit. Nandung hanya untuk menidurkan anak, sedangkan senandung termasuk nyanyian untuk diri sendiri.

Bacaan Lainnya

Keistimewaan nandong selain mengandung kata-kata yang bernilai sastra, juga memiliki lagu dan irama yang mendayu-dayu sendu yang membuat suasana hati terharu. Jika dilantunkan pada malam atau tengah hari, nyanyiannya sayup-sayup terdengar menggugah hati, termasuk juga orang dewasa.

Yusmiati, penutur nandong Kuantan.

Nandong  tidak memiliki irama baku. Namun dalam pratiknya setidaknya ditemukan beberapa irama berbeda yang sering digunakan. Irama-irama tersebut tidak diberi nama khusus sehingga hanya dikenali dengan nadanya saja.

Sebagian lirik-lirk nandong mirip susunan pantun. Ada sampiran dan ada isi. Hanya saja dalam nandung ada kata-kata ekstra yang diulang-ulang, seperti filler word atau bunyi penyisip yang berfungsi sebagai harmonisasi bunyi yang dinamik.

Di dalam penyajian, nandong dituturkan seorang perempuan terutama ibu atau kerabat perempuan ibu lainnya dan jarang dilakukan oleh kaum laki-laki. Stereotip perempuan sebagai penutur tidak saja bentuk kedekatan emosional keluarga ibu di dalam pola pengasuhan tetapi juga harapan agar sifat-sifat kelembutan seorang ibu (perempuan) diharapkan mendominasi dalam karakter individu sang anak. Perempuan (ibu) sebagai sosok yang jauh lebih dekat kepada anak dibanding lelaki (ayah), merupakan posisi yang sangat dimuliakan dalam lingkungan komunal sekaligus dalam sistem matrilineal yang dianut pendukungnya, perempuan adalah titik lahir yang akan mewarisi suku kepada anak-anaknya.

Stereotip perempuan sebagai penutur juga dipengaruhi dengan adanya pola pembagian kerja yang penempatan perempuan sebagai subordinat lelaki. Perempuan hanya boleh melakukan pekerjan-pekerjaan ringan yang tidak membutuhkan keahlian tertentu atau fisik yang kuat. Dalam pembagian kerja misalnya, kaum perempuan adalah pekerja kedua (melanjutkan) setelah lelaki membuka tanah pertanian.

Seorang perempuan yang bekerja di luar batas-batas kemamapun ‘keperempuannya’, maka saudara laki-laki atau sang suami akan dianggap sebagai orang tak tahu adat atau tak beradat. Anggapan tersebut menjadikan perempuan lebih banyak di rumah yang memunculkan pemikiran bahwa perempuan adalah ‘penunggu rumah’ dan mengasuh anak, dan lelaki adalah ‘penguasa luar’ dan bekerja. Sehingga walaupun tidak ada ketentuan atau syarat khusus siapa saja yang boleh atau tidak menjadi penutur, namun perempuan ditempatkan sebagai penutur dibandingkan dengan laki-laki yang tidak diharuskan untuk melakukannya.

Nyanyian Pengantar Tidur
Tradisi menidurkan anak sambil menyenandungkan dengan kata-kata penuh hikmah menjadi tradisi yang tersebar di seluruh wilayah Riau. Setiap wilayah budaya memiliki penamaan dan varian yang berbeda, namun masih dapat dikenali dengan ciri khas yang sama yaitu sendu, mendayu-dayu dan berisi nasihat-nasihat. Penaman dan varian nyanyian pengatar tidur tersebut misalnya nandung (Inderagiri), nandong (Kuantan), dodoi atau dudui (Indragiri Hilir), baghandu (kampar), badondong (Pelalawan), dudung atau badundung (Talang Mamak), onduo (Rokan), timang anak (Siak) dan berbagai varian penyebutan lainnya.

Nandong Kuantan diiringi dengan musik

Rujukan:
Ahmad Darmawi. 2006. Sastra Lisan Nandung Indragiri Hulu. Pekanbaru: Disbudsenipar Provinsi Riau
Derichard H. Putra. 2013. Nandung untuk Anakku. Tesis. Program Studi Antropologi UGM
Elmustian Rahman, dkk. 2012. Ensiklopedia Kebudayaan Melayu Riau. Pekanbaru: Pusat Penelitian Kebudayaan dan Kemasyarakatan Universitas Riau

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *