Menyemah Terubuk (Berdikir Terubuk)

Apakah sebabnya ikan terubuk di selat  Bengkalis besar-besar dan penuh dengan lemak dagingnya. Menurut cerita, tujuan pertamanya adalah Tanjung Tuan, sedangkan apabila kembali ke Selat Malaka tujuan di Tanjung Parit. Dari Tanjung Parit ini kabarnya berbondong-bondonglah ikan terubuk ke Tanjung Padang tempat Putri Puyu (ikan puyu). Ikan puyu hidup di air tawar sedangkan ikan terubuk hidup di air asin (laut). Sehingga ketika ikan terubuk ingin menemui ikan puyu yang hidup di air tawar, tidak pernah kesampaian. Lagi pula setibanya ikan terubuk di Sungai Bengkalis berubah menjdi betina, padahal dari Malaka jantan semua, sehinga tak mungkin berjodoh dengan ikan (putri) puyu yang betina pula. Jadi, menurut kisahnya ikan terubuk dan ikan puyu bertemu atau berjodoh hanya dalam batin saja, dan tidak dalam keadaan nyata. Ikan terubuk mencerminkan keberadaan Raja Muda yang mencari Tuan Putri Puyu atau  ikan puyu, yang berarti niat Raja Muda itu tidak kesampaian.

Sampai tahun 1927, upacara ini masih diadakan dengan persyarakat lengkap. Namun setelah tahun 1927, sudah susah mencari orang sumbang dan keturunannya, sehingga sulit mengadakan upacara seperti di masa lalu. Pada tahun 1962, upacara ini dicoba diadakan oleh pemerintah tapi tidak semeriah sebelum tahun 1927, karena persyaratannya tidak lengkap dan hasil yang diharapkan berupa munculnya banyak ikan terubuk tidak tercapai.

Bacaan Lainnya

Kegiatan atau upacara penyemahan tersebut, seperti telah dikemukan diatas, dulu diadakan sekali setahun, pada bulan purnama menurut penanggalan Arab. Pada saat ini, ikan terubuk biasanya akan muncul dalam jumlah yang banyak terutama ketika air pasang. Saat atau hari penyelenggaraan di tentukan berdasarkan permufakatan antara Datuk Laksamana Raja Di Laut dengan para batin (kepala suku) sebulan sebelumnya.

Penyemahan ini pekerjaannya sangat berat, walaupun acara puncaknya hanya berlangsung 1 hari 2 malam, dengan sehari penuh untuk kegiatan penyemahan dan malamnya untuk persiapan dan hiburan. Dari awal hingga akhir penyemahan ini biasanya memakan waktu tiga bulan baru selesai, mulai dari masa persiapan sampai dengan selesai.

Penyelenggaraan upacara ini di masa lalu dipimpin oleh Datuk Laksamana Raja Dilaut dan dihadiri oleh orang kaya Raja Negara serta raja (sultan/ wakilnya). Orang-orang tersebut semuanya memakai pakaian berdasarkan  keturunan masing-masing. Datuk Laksmana Raja Dilaut merupakan puncak dari kegiatan penyemahan ini, sedangkan batin-batin ini bertindak sebagai bomo (dukun) untuk memanggil roh dan akan kemasukan roh tersebut. Bomo yang telah kemasukan inilah nantinya yang akan menentukan lokasi upacara dan tempat pembuangan atau penggantungan potongan badan kerbau pada tempat-tempat yang telah ditentukan.

Persyaratan utama penyelenggaraannya adalah harus ada orang sumbang atau dua laki-laki dan perempuan yang telah melakukan perbuatan sumbang, dan diadakan oleh keturunan dari Datuk Laksmana Raja Dilaut dan para batin (kepala Suku) yang ada di Bengkalis. Datuk Laksmana Raja Dilaut ini merupakan penguasa di Bukit Batu dan Bengkalis, dan biasanya dialah bersama seorang perempuan yang bergelar Jenjang Raja yang akan berlaku sebagai sebagai seorang sumbang. Orang-orang sumbang ini selalu dari keturunan Datuk Laksmana Raja Dilaut dan Jenjang Raja ini. Datuk Laksmana berperan sebagai orang sumbang, karena Datuk ini pernah bermimpi dan mendapat pesan dari Datuk Mangkhudum Sati agar menjaga ikan terubuk dan mengadakan penyemahan dengan tata cara yang diketahuinya dari Raja Muda.

Bomo atau dukun haruslah keturunan dari keempat batin (kepala suku) yang ada di Bengkalis yakni Batin Bengkalis, Batin Senderak, Batin Alam dan Batin Penebal. Orang lain yang bukan keturunan tidak bisa menjadi penyelenggaraan teknis upacara ini, karena tidak akan bisa kemasukan roh atau semangat gaib tersebut. Pada masa dahulu, bomo yang terkenal adalah Bomo Deraman yang bergelar Batin Bengkalis Deraman. Di waktu penyemahan, bomo ini menyelam ke dalam laut beberapa waktu lamanya, dimana pinggangnya diikat dengan tali. Bomo inipun bisa memanggil atau melihat ikan terubuk dengan menyediakan alat-alat yang serba ringkas berupa, bertih satu talam dan telur ayam. Setelah bertih itu dibuang atau ditebarkan ke laut, maka tidak lama kemudian sebentar antaranya berkeliaranlah ikan terubuk pias (kecil). Penyemahan dengan hanya menggunakan bertih dan telur ayam itu, merupakan cara penyemahan yang kecil atau sederhana.

Kehadiran Sultan Siak hanya sekedar merestui dan memeriahkan kegiatan tersebut. Begitupun dengan kehadiran masyarakat, selain untuk membantu juga untuk menyemarakkan upacara sebab berkaitan dengan keperluan masyarakat untuk menangkap ikan terubuk di laut.

Dalam penyelenggaraan upacara ini, perlengkapan yang perlu dipersiapkan antara lain, Balai Terubuk, seekor kerbau, rakit (sampan), makanan (40 hidangan), dan sarana hiburan. Semua kelengkapan upacara tersebut sudah harus dipersiapkan sejak waktu  penyemahan ditentukan, dan biasanya persiapan ini memerlukan waktu paling kurang dua bulan dengan dipimpin oleh Datuk Laksmana Raja Dilaut dan dilaksanakan oleh para batin (bomo), Jenjang Raja dan masyarakat terutama nelayan.

Sedangkan kerbau yang digunakan untuk upacara ini adalah kerbau yang sudah cukup besar. Beberapa bagian dari badan kerbau ini nantinya akan diletakkan atau digantung pada tempat-tempat yang telah ditentukan. Kepala kerbau digantungkan di Tanjung Gawar-gawar Sungai Pakning, kaki depan kanan akan digantungkan di mambang kuning di dekat Bukit Batu, kaki depan kiri di Sungai Bengkalis (Kuala), kaki belakang kiri di Tanjung Jati dan kaki belakang kanan di Merabung (dekat Dumai). Semua diletakkan dengan digantungkan di tempat-tempat yang telah ditentukan oleh bomo, sedangkan badan kerbau akan dimasak dan dijadikan hidangan pada waktu pesta atau hiburan pada malam harinya di Bukit Batu. Kerbau ini dipotong pada waktu pagi atau subuh  dan pada tempat penyembelihan kerbau terdapat tempat alur pemotongan yang langsung mengalirkan darah kerbau kea sungai dan tidak boleh di tampung, kemudian dibawa ke Balai Terubuk untuk dipotong atau dibagi.

Rakit yang digunakan pada penyemahan ini ada yang besar dan ada yang kecil. Rakit besar merupakan tempat atau akan dinaiki oleh Datuk Laksmana, Sultan, batin serta bomo. Sedangkan rakit kecil yang dengan jumlah banyak digunakan oleh masyarakat atau nelayan yang ikut memeriahkan acara ini. Rakit-rakit ini mulanya diletakkan di Kuala Bukit Batu dan nantinya akan digunakan membawa rombongan ke tempat penggantungan potongan-potongan tubuh kerbau pada tempat-tempat yang telah ditentukan di atas. Rakit ini juga menjadi tempat meletakkan potongan kerbau dan 40 hidangan yang akan dibawa ke Tanjung Jati. Dalam penyemahan pada tahun 1962, rakit-rakit itu diganti dengan pompong.

Seperti diketahui dalam upacara ini terdapat 40 buah hidangan atau makanan yang terdiri dari kue-kue. Hidangan tersebut  ditempatkan dalam 40 wadah dari piring/ talam besar yang bergaris menengah kira-kira 60 cm yang nantinya akan diletakkan di Tunggul Jati, yang terletak di Tanjung Jati, serta untuk saling dilemparkan dari atas rakit di tengah laut.

Perlengkapan lain yang harus disiapkan yakni sarana hiburan berupa rebana (rebano) dab gendang. Rebana ini dipukul sambil berdendang, yang diiringi kemudian dengan berzikir. Pada waktu mendendangkan Syair Ikan Terubuk, rebana ini juga digunakan untuk mengiringinya. Rebana dan gendang, serta berzikir dan bersyair ditujukan untuk memberi semangat dan memuja ikan terubuk serta datuk-datuk dulu. Orang yang membacakan syair biasanya adalah seorang perempuan Jenjang Raja dan tidak boleh laki-laki. Bunyi gendang dan rebana juga dilakukan pada waktu menyemah pada siang hari di atas rakit dan dilakukan sambil duduk.

Kegiatan menyemah ikan terubuk ini memerlukan waktu 1 hari 2 malam, tetapi bila dihitung dari prosesnya dari awal (penentuan waktu serta persiapan) dan sampai selesai memakan waktu 3 bulan. Untuk kegiatan ini diperlukan biaya yang besar dan dulu semuanya ditanggung Datuk Laksamana. Biaya tersebut sesungguhnya juga berasal dari rakyat karena dipungut dari pajak yang dikenakan pada nelayan dan masyarakat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *