Melayu; Bangsa Melayu

Mengaji. Anak-anak mengaji selepas magrib di rumah mereka di kaki bukit Taman Nasional Bukit Tiga Puluh (TNBT) (foto: kosabudaya.id/derichard h. putra)

Kehadiran agama Islam ke dalam kehidupan puak Melayu muda, tidak hanya sebatas menapis adat dan tradisinya, tetapi juga berakibat terhadap bahasa yang mereka pakai. Sebab tentulab suatu hal yang ganjil, jika suatu masyarakat memeluk agama Islam, sedangkan bahasa yang menjadi pendukung potensi budayanya tidak Islami. Karena itu bahasa dan budaya Melayu muda juga mendapat sentuhan dan pengaruh Islam, sehingga hasilnya budaya Melayu menjadi satu di antara lima budaya Islam di dunia ini. Budaya Melayu itu ada disepuh dengan Islam, ada yang mendapat proses islamisasi dan ada pula yang merupakan hasil kreativitas orang Melayu yang Islami. Akibatnya penampilah orang Melayu akan memperlihatkan agamanya (Islam) adat dan resam yang bercitra Islam dan bahasa Melayu yang mengandung lamtan agama Islam. Tentulah atas kenyataan ini orang Cina yang masuk agama Islam disebut oleh kaum kerabatnya masuk Melayu.

Meskipun kita melihat ada perbedaan antara Melayu tua dengan Melayu muda, namun kedua keturunan puak Melayu ini masih mempunyai persamaan kultural. Orang Melayu itu akan selalu menampilkan budaya perairan (maritim). Mereka adalah manusia perairan, bukan manusia pegunungan. Mereka menyukai air, laut, dan suka mendiami daerah aliran sungai, tebing pantai dan rimba belantara yang banyak dilalui oleh sungai-sungai. Sebab itu budaya mereka selalu berkaitan dengan air dan laut, seperti sampan, rakit, perahu, jalur, titian, berenang, dan bermacam perkakas penangkap ikan seperti kail, lukah, hingga jala.

Bacaan Lainnya

Pada penggal kedua, pengertian orang Melayu juga dapat dipakai terhadap pihak yang telah nikah-kawin dengan puak Melayu tua maupun Melayu muda. Dengan nikah-kawin tentulah pelaku dan keturunannya akan mempunyai tingkahlaku sesuai dengan sistem nilai yang dianut puak Melayu. Dalam hal ini dapat ditemukan bagaimana orang Bugis telah nikah-kawin dengan puak Melayu Riau-Lingga. Keturunan mereka telah mendapat kedudukan dengan jabatan Yang Dipertuan Muda dengan gelar Raja, di bawah keturunan Melayu yang menjabat Yang Dipertuan Besar dengan gelar Sultan. Keadaan yang sama juga berlaku terhadap keturunan Arab yang telah nikah-kawin dengan puak Melayu keturunan Siak, sehingga mendapat kedudukan sebagai sultan dalam kerajaan itu. Dari 12 orang raja atau sultan kerajaan Siak, 6 orang yang terakhir adalah keturunan Arab.

Perantau Banjar (Kalimantan) di Inderagiri, juga telah diterima dengan baik oleh kerajaan itu. Akibatnya keturunan mereka juga menjadi bagian masyarakat dan kerajaan. Keturunan Banjar telah diangkat menjadi mufti kerajaan. Seorang di antara mufti kerajaan Inderagiri yang terkenal ialah Tuan Guru Abdurrahman Siddik bin Muhammad Apip, yang telah menjadii mufti dari tahun 1907-1939. Tuan Guru ini meninggal 10 Maret 1939, lalu dimakamkan di Parit Hidayat dekat kota kecil Sapat, Kuala Inderagiri. 

Sejumlah romusha (pekerja paksa oleh Jepang) asal Jawa, juga telah nikah-kawin dengan puak Melayu Kampar di perhentian Marpuyan Pekanbaru. Keturunan mereka telah kehilangan jejak budaya Jawa, lalu tarnpil dengan budaya puak Melayu Kampar.

Pada penggal ketiga, dalam rentangan yang lebih panjang mungkin saja seseorang atau suatu keluarga menyebut dirinya orang Melayu, karena telah begitu lama menetap di kampung orang Melayu. Mereka walaupun belum melakukan nikah-kawin dengan salah satu puak Melayu tadi, tetapi karena dibesarkan dalam lingkungan masyarakat dan budaya Melayu atau mendapat peranan dalam sistem sosial dan sistem nilai orang Melayu, akhirnya merasa diri mereka sebagai bagian dari masyarakat Melayu di mana mereka tinggal. Mereka meninggalkan orientasi budaya negeri asalnya, lalu memakai bahasa dan baju budaya Melayu. Contoh yang paling baik dalam hal ini ialah Lebai Wahid (ayah sastrawan asal Riau Soeman Hs) dengan keluarganya.

Lebai Wahid merantau ke Bengkalis, lalu mendapat kedudukan sebagai lebai (ulama) dalam masyarakat Melayu Bengkalis, suatu kedudukan yang dipandang mulia oleh orang Melayu. Kemudian Soeman Hs lahir di Bengkalis tahun 1904, lalu dibesarkan dalam lingkungan budak-budak Melayu di situ. Walaupun Pak Soeman, masih memakai Hs (Hasibuan) di ujung namanya, itu hanya sekadar kenang-kenangan agar tidak rnengingkari sejarah. Namun begitu, tidak sedikitpun dia merasa dirinya sebagai orang Batak. Bahkan selama umurnya yang mencapai 96 tahun, tak pernah dia rindu untuk melihat kampung halaman ibu-bapaknya, Penampilannya malah terkesan lebih Melayu lagi daripada orang Melayu yang bermukim di Riau.

Rujukan
1. Dewan Bahasa dan Pustaka. 1999. Ensiklopedia Sejarah dan Kebudayaan Melayu, edisi kedua cetakan pertama, Selagor: Dewan Bahasa dan Pustaka
2. UU Hamidy. 2004. Jagad Melayu dalam Lintasan Budaya di Riau. Pekanbaru: Bilik Kreatif Press
3. Elmustian Rahman, dkk. 2012. Ensiklopedia Kebudayaan Melayu Riau, Pekanbaru: Pusat Penelitian Kebudayaan dan Kemasyarakatan Universitas Riau

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *