Melayu; Bangsa Melayu

Mengaji. Anak-anak mengaji selepas magrib di rumah mereka di kaki bukit Taman Nasional Bukit Tiga Puluh (TNBT) (foto: kosabudaya.id/derichard h. putra)

Perkampungan puak Melayu Tua pada masa dulu jauh terpencil dari perkampungan Melayu Muda. Ini mungkin berlaku, karena mereka ingin menjaga kelestarian adat dan resam (tradisi) mereka. Begitu pula dalam nikah-kawin, mereka masih sedikit berbaur dengan Melayu Muda dan suku lainnya. Pembauran dengan Melayu Muda baru terjadi setelah mereka memeluk agama Islam sebagaimana yang terjadi pada Sakai Batin Salapan dan Batin Lima, yang diislamkan oleh para khalifah murid Tuan Guru Abdul Wahab Rokan penganut tarekat Naksyahbandiyah. 

Puak Melayu Muda (Deutro Melayu), gelombang kedatangan nenek moyang mereka diperkirakan tiba antara 300-250 tahun sebelum Masehi. Melayu Muda ini cukup besar jumlahnya. Mereka lebih suka mendiami daerah pantai yang ramai disinggahi perantau dan daerah aliran sungai-sungai besar yang menjadi lalu lintas perdagangan. Karena itu mereka bersifat lebih terbuka dari Melayu Tua, sehingga mudah terjadi nikah-kawin dengan puak atau suku lain, yang membuka peluang pula kepada penyerapan nilai-nilai budaya dari luar. 

Bacaan Lainnya

Pada mulanya, baik Melayu tua maupun Melayu muda sama-sama memegang kepercayaan nenek moyang yang disebut Animisme (semua benda punya roh) dan Dinamisme (semua benda mempunyai semangat). Kepercayaan ini kemudian semakin kental oleh kehadiran ajaran Hindu-Budha. Sebab antara kedua kepercayaan ini hampir tidak ada beda yang mendasar. Keduanya sama-sama berakar pada alam pikiran leluhur, yang kemudian mereka beri muatan mitos, sehingga bermuatan spiritual.

Maka, setelah tiba kehadiran agama Islam, terutama di daerah pesisir pantai serta daerah aliran sungai-sungai besar di Riau, ternyata puak Melayu muda lebih suka memeluk agama baru yang rasional itu. Kedatangan agama Islam itu telah membangkitkan semangat bermasyarakat yang lebih kuat dan kokoh, sehingga berdirilah beberapa kerajaan Melayu dengan dasar Islam, seperti telah disebutkan pada bagian depan. Maka puak Melayu di Riau terbagi atas kerajaan Melayu yang menaunginya sehingga dikenallah beberapa puak atau masyarakat Melayu di daerah ini. Adapun mengenai Melayu muda, paling kurang ada 6 macam:

1. Puak Melayu Riau-Lingga, mendiami bekas kerajaan Riau-Lingga, yakni sebagian besar daerah  kepulauan Riau,  yang  sekarang terdiri dari Kabupaten Kepulauan Riau, Karimun dan Natuna. Mereka sebagian telah nikah-kawin dengan perantau Bugis dalam abad ke 18.

2. Puak Melayu Siak, mendiami bekas Kerajaan Siak, yang sebagian besar merupakan daerah aliran Sungai Siak. Mereka sebagian nikah-kawin dengan keturunan Arab, sehingga sebagian dari Sultan Siak, keturunan Arab.

3. Puak Melayu Kampar, mendiami daerah aliran Batang Kampar. Mereka ada yang nikah-kawin dengan perantau Minangkabau, dan ada pula dengan orang Jawa yang menjadi romusha Jepang.

4. Puak Melayu Inderagiri, mendiami daerah kerajaan Inderagiri, yakni daerah aliran sungai Inderagiri. Mereka ada yang nikah-kawin dengan perantau Banjar dan juga keturunan Arab.

5. Puak Melayu Rantau Kuantan, mendiami daerah alirang Batang Kuantan yang telah masuk ke dalam Kabupaten Kuantan Singingi.

6. Puak Melayu Petalangan, mendiami daerah belantara yang dilalui beberapa cabang (anak) sungai di daerah Pangkalan Kuras.

Pemegang teraju, kepemimpinan Melayu, baik Melayu tua maupun Melayu muda semula juga terdiri dari pemangku adat (sebagai pemimpin formal) di samping tokoh tradisi seperti dukun, bomo, pawang, kemantan, dan guru silat, sebagai pemimpin informal. Tetapi setelah Melayu muda membentuk beberapa kerajaan Melayu dengan dasar Islam, maka muncullah pemegang kendali kerajaan yang disebut raja, sultan serta yang dipertuan. Sementara itu, kehadiran Islam juga telah menampilkan cendekiawan yang disebut ulama. Di Riau, untuk ulama itu sering dipakai kata orang siak, lebai, malin, tuan guru, dan pakih. Dengan demikian kehidupan Melayu muda ini dipandu oleh para raja (sultan), ulama, pemangku adat dan tokoh tradisi. Semua orang terpandang ini sering pula disederhanakan dengan istilah orang patut. Disebut demikian, karena mereka dipandang patut atau layak dalam bidang kehidupan yang dipimpinnya. 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *