Madihin

Pemadihin melakukan pertunjukkan madihin. (foto: kosabudaya.id)

MADIHIN adalah seni pertunjukan berupa penuturan syair, pantun atau puisi bebas dengan irama yang merdu dan iringan rebana. Madihin dipertunjukkan secara sendirian atau perpasangan. Jika berpasangan, dua kelompok penutur madihin akan saling bersahut-sahutan atau berbalas-balasan.

Secara arti kata, madihin berasal dari kata madah yang berarti pesan atau nasihat. Dalam bahasa Banjar kata madahan digunakan dan lama-kelamaan sebutannya berubah menjadi madihin.

Bacaan Lainnya

Madihin tumbuh ketika Islam berkembang di Kalimantan Selatan yaitu pada masa Kesultanan Banjar. Pada masa itu, madihin merupakan hiburan untuk kalangan istana.

Madihin dipersembahkan pada waktu malam selama dua atau tiga jam dan kadang kala sehingga larut malam. Lazimnya pemadihinan membuat persembahan di sebuah pentas kecil atau pada satu ruang di dalam rumah dan mereka berpakaian rapi atau berpakaian khas daerah. Sambil duduk bersila pema­dihinan memegang tarbang yaitu sejenis gendang berkulit sebelah yang lebih besar rebana.

Tarbang dipalu dengan kedua-dua belah telapak tangannya menurut rentak irama tertentu, sesuai dengan urutan persembahan, yaitu sebagai pengenalan, sebagai gambaran ketika penyampaian materi madihin, dan penutup persembahan.

Semasa pengenalan, biasanya pemadihinan terlebih dahulu memperkenalkan dirinya, menyatakan bentuk persembahan, dan isi madihin yang akan dilagukan. Dia juga meminta maaf sekiranya dalam persembahan terdapat kekurangan atau kejanggalan dan menyinggung perasaan penonton. Permintaan ini diulangi ketika persembahan hampir tamat.

Persembahan madihin akan lebih meriah jika dua atau empat orang pemadihinan saling berbalas-balasan. Biasa­nya penonton akan menilai pemadihinan yang manakah yang lebih menarik. Sebagai hadiah, pemadihinan tersebut akan mendapat banyak tawaran untuk membuat persembahan.

Madihin masih digemari oleh masyarakat tempatan Banjar sehagai sumber hiburan di kampung. Seni pertunjukan ini juga dipersembahkan di pusat kesenian, dalam acara resmi, adat istiadat, dll. Belakangan mandihin digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan pembangunan, dan bahkan untuk kampanye partai-partai tertentu.

Pesembahan madihin sangat komunikatif dengan khalayak karena disampaikan dengan menggunakan bahasa Melayu dan bercampur dialek Banjar. Selain di Inderagiri Hilir, madihin juga berkembang di Sumatera Utara, Jambi, Sulawesi Selatan dan Maluku karena terdapat perantau banjar yang sudah bersebati dengan masyarakat setempat.

Ruukan:
1. UU Hamidy. 1999. Riau Doeloe-Kini Dan Bayangan Masa Depan. Pekanbaru;
2. Dewan Bahasa dan Pustaka. 1999. Ensiklopedia Sejarah dan Kebudayaan Melayu, edisi kedua cetakan pertama. Selagor: Dewan Bahasa dan Pustaka

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *