Kerajaan Siak Sri Inderapura

Istana Kerajaan Siak Sri Inderapura. (foto: kosabudaya.id)

Moszkowski yang berkelana ke kawasan Siak pada tahun 1907 memuji Sultan Syarif Hassim sebagai seorang raja yang cerdas, yang peduli dengan kemajuan kerajaannya. Raja memerintahkan penyusunan Babul Qewaid, sebagai pedoman hukum. Dari paparan Moszkowski ini, sultan dengan jelas mencoba mentransformasikan keragaman adat dan budaya Melayu di kerajaannya untuk menjalankan hukum adat Melayu yang ada di seberang selat.

Batin-batin di Siak
Di wilayah Siak terdapat orang pebatinan yang tinggal di bagian tenggara wilayah Mandau hulu, yang  bergabung dengan Siak pada masa-masa awal. Pebatinanpebatinan ini disebut Batin Limo, yaitu Batin Minas, Batin Belutu, Batin Beringin, Batin Penaso, dan Batin Tengganau. Wilayah mereka dibatasi oleh sungai-sungai yang bernama sama dengan nama-nama pebatinan itu. Di luar pebatinan ini, terdapat orang pebatinan yang bergabung dengan Kota Intan di Rokan. Sekitar abad ke-19, delapan batin dan “anak buah”-nya yang bergabung dengan Kota Intan mengalihkan kesetiaan kepada Siak dan bergabung dengan lima pebatinan yang telah lebih dulu bergabung dengan Siak. Kerajaan Siak mengklasifikasikan orang-orang pebatinan ini sebagai orang Sakai.

Bacaan Lainnya

Pada akhir abad ke-19, kedelapan batin (Batin Selapan) itu adalah Batin Paoh, Batin Betuah, Batin Sebanga, Batin Singa Meraja, Batin Berumbang, Batin Semunai, Batin Bramban, dan Batin Pinggir. Jadi, pada masa pemerintahan Sultan Syarif Hassim, wilayah Mandau hulu memiliki 13 batin orang hutan dan “anak buah” di wilayah mereka. Bergabungnya Batin Selapan dengan kerajaan Siak ini membawa wilayah mereka, yang semua berada di bawah kekuasaan Kota Intan di Rokan, ke dalam lingkup wilayah kekuasaan Siak. Pada tahun 1907, pemerintah kolonial Belanda menandatangani sebuah perjanjian yang mengakui wilayah ini sebagai milik Siak.

Syarif Kassim II
Pada tahun 1915, putera Sultan Syarif Hassim, Tengku Syarif Kassim II menjadi Sultan Siak. Selama masa pemerintahannya, Belanda tidak melakukan apa-apa untuk mempertahankan kekuasaan raja-raja Melayu Sumatera. Sementara kalangan bangsawan dianggap hanya peduli pada harta-kekayaannya sendiri dibandingkan kesejahteraan orang-orang yang diperintahnya. Pada tahun 1930-an, ketika mobil mulai dikenal, Sultan Syarif Kassim terkenal karena memiliki sebuah sedan Jerman, yang dikendarainya di seluruh Sumatera untuk menghadiri pertemuan-pertemuan politik.

Pada tanggal 16 Juni 1938, sultan Siak dan kesultanan sekitar memperbarui perjanjian politik mereka dengan pemerintah Hindia Belanda. Dalam pertemuan tersebut Sultan Siak menjadi orang yang pertama menyatakan kesetiaan kerajaan Melayu kepada kerajaan Belanda yang tidak akan bergeming (Ruiters ibid: 132). Tujuannya adalah untuk mempertahankan kekuasaan dan kendali atas otonomi apapun yang diberikan Belanda kepada mereka. Nampaknya Sultan Syarif Kassim, sebagai sultan yang paling berkuasa di antara kerajaan-kerajaan di pesisir timur Sumatera, menyadari kelemahan kerajaan Melayu.

Masa Kemerdekaan
Pada saat Jepang mengambil alih Siak dan wilayah-wilayah sekitarnya pada tahun 1942, sultan harus memenuhi tuntutan-tuntutan maharaja yang baru ini. Jepang menyebut wilayah ini Riau Syu dan memerintahnya dari Pekanbaru. Jepang meninggalkan nusantara pada tahun 1945, dan kaum nasionalis Indonesia memproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.

Pada tanggal 1 November 1945, Sultan Syarif Kassim II secara terbuka menyatakan dukungannya pada perjuangan kemerdekaan Indonesia dengan mendermakan uang sejumlah 20.000 rupiah. Ia menyadari bahwa kesutanan-kesultanan adalah peninggalan dari masa lalu. Dalam sebuah pertemuan di Medan, dimana ia datang dengan mengendarai mobil, ia disanjung oleh perwakilan Indonesia sebagai seorang “sultan republikan.” Tidak lama kemudian, menyadari superioritas negara Indonesia, Sultan Syarif Kassim mengundurkan diri. Pengunduran diri Sultan Syarif Kassim II mengakhiri dinasti yang didirikan pada tahun 1724 oleh Raja Kecik. Siak dan orang-orangnya pun menjadi bagian dari Republik Indonesia.

Pada masa kemerdekaan Siak masuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau. Siak diresmikan sebagai sebuah kabupaten di Provinsi Riau pada tanggal 12 Oktober 1999, oleh Menteri Dalam Negeri (ad-interim) Feisal Tanjung. Dasar pendiriannya adalah UU No. 53 tahun 1999. Bupati Siak pertama adalah H. Tengku Rafian dengan SK Mendagri No. 131.24-1129 tanggal, 8 Oktober 1999. Ide pembentukan kabupaten ini merupakan aspirasi masyarakat yang menginginkan bekas Kawedanan Siak ini menjadi kabupaten. Sebagai langkah awal, mula-mula dibentuk Panitia Pembentukan Kabupaten Siak pada tanggal 24 Mei 1999 dengan Ketua Umum H. Wan Ghalib. Panitia ini bertugas melaksanakan Musyawarah Besar (Mubes) Masyarakat Eks Kewedanan Siak tanggal 11 Juni 1999.

Rujukan
1. Dinald J Goudie. 1989. Syair Perang Siak.  Kuala Lumpur: The Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society (MBRAS)
2. Elmustian Rahman, dkk. 2012. Ensiklopedia Kebudayaan Melayu Riau. Pekanbaru: Pusat Penelitian Kebudayaan dan Kemasyarakatan Universitas Riau
3. Safian Hussain, dkk.1999. Ensiklopedia Sejarah Dan Kebudayaan Melayu. Selangor Darul Ehsan: Percetakan dewan bahasa dan Pustaka
4. Taufik Ikram Jamil, Derichard H. Putra, Syaiful Anuar. 2020. Pendidikan Budaya Melayu Riau untuk SMA/SMK/MA Kelas X. Pekanbaru: Penerbit Narawita
5. Tenas Efendy. 1989). ‘Sedikit catatan tentang “Syair Perang Siak”, dalam D.J. Goudie, Syair Perang Siak; A court poem presenting the state policy of a Minangkabau-Malay royal family in exile. Kuala Lumpur: Art Printing Works
6. Tim LAMR. 2018. Buku Sumber Pegangan Guru Pendidikan Budaya Melayu Riau. Pekanbaru: Lembaga Adat Melayu Riau.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *