Kerajaan Siak Sri Inderapura

Istana Kerajaan Siak Sri Inderapura. (foto: kosabudaya.id)

Ketika Raja Kecil mulai mundur dari kedudukannya sebagai raja setelah 1735, dua orang puteranya, Raja Mahmud dan Raja Alam, mulai muncul sebagai calon-calon pengganti untuk memimpin ‘negeri’. Raja Mahmud adalah putera Raja Kecil dengan Tengku Kamariah, adik perempuan Sultan Sulaiman di Johor. Sedangkan Raja Alam adalah putera Raja Kecil denganorang asli, karena ibunya berasal dari Rawas. Pada akhirnya yang menduduki tahta Siak adalah Raja Mahmud.

Namun, keputusan ini tidak disetujui oleh Raja Alam. Ia berkelana membangun kekuatan untuk merebut tahta kerajaan Siak. Di sepanjang  abad  ke-18, kedua putera Raja Kecil berebut tahta Siak, dan ketegangan-ketegangan berkembang di dalam keluarga diraja sebagai persaingan untuk menarik para pengikut dari berbagai komunitas di Sumatera timur. Keduanya juga berusaha mendapatkan dukungan dari sultan Johor.

Bacaan Lainnya

Pengaruh Belanda dan Inggris
Pada tahun 1761, Belanda membantu Raja Alam merebut tahta. Raja Alam memberikan puterinya kepada seorang Arab, Sayid Usman, dan mereka memiliki seorang putera bernama Said Ali. Pada masa mudanya, Said Ali hidup sebagai seorang lanun yang mengumpulkan kekayaan dari perompakan-perompakan di tanah-tanah yang jauh. Dengan kekayaan yang cukup, Said Ali menjadi raja di Siak Indrapura.

Pada tahun 1810, Said Ali menyerahkan tahtanya kepada puteranya, Sultan Ibrahim. Pada masa pemerintahan sultan ini, Inggris dan Belanda menandatangani perjanjian Traktat London tahun 1824, yang memisahkan alam Melayu melalui Selat Melaka. Dengan demikian kesatuan politik dan budaya pesisir timur Sumatera dengan Semenanjung Malaya pecah. Pulau-pulau di sebelah selatan Singapura tetap menjadi wilayah Belanda, dan garis pemisah ini menjadi asas politik dan budaya dalam pembagian wilayah kolonial Indonesia dan Malaysia di kemudian hari.

Sepeninggal ayahnya (tahun 1821), Sultan Ibrahim mengalami gangguan jiwa, sehingga sepupu sekaligus abang iparnya, Tengku Muhammad, menyatakan bahwa sultan tidak layak memerintah. Tengku Muhamad mendudukkan puteranya, Tengku Ismail yang ketika itu masih kanak-kanak, di tahta Siak. Tengku Muhamad memakai gelar Mahum Besar dan bertindak sebagai mangkubumi sampai puteranya cukup umur. Pada tahun 1840, setelah puteranya berumur 20 tahun, barulah ia menyerahkan kekuasaan kepada puteranya itu.

Di bawah pemerintahan Sultan Ismail ekonomi Siak mengalami kelesuan, dan kekuasaannya atas pedalaman di hulu melemah. Ia mengundang seorang petualang Inggris, Wilson, untuk membantunya meredakan kerusuhan di dalam kerajaan dan memulihkan wilayah-wilayah barat. Dengan besarnya kekuasaan yang diberikan kepadanya, orang Inggris ini mengambil kesempatan dan hampir berhasil menggulingkan Sultan Ismail. Dalam pertempuran melawan Sultan Ismail, Wilson meminta bantuan dari pemerintah Inggris di Malaysia. Tetapi permintaan itu ditolak, dengan alasan Inggris tidak mau mencederai Traktat London. Di lain pihak, Sultan Ismail meminta bantuan dari Belanda.

Ketika Wilson memburu sultan keluar dari Siak, sultan menumpang sebuah kapal uap Belanda yang lewat, yaitu Merapi. Belanda berjanji akan mengembalikan sultan Siak ke tahtanya, jika ia mau menandatangani perjanjian yang menjadikan Siak sebagai sebuah protektorat Belanda. Tanpa berpikir panjang, sultan menandatangani perjanjian itu dengan Niewenhuijzen, pada tahun 1858. Ketika Niewenhuijzen memasukkan Siak ke dalam orbit imperial Belanda, ia juga memasukkan Siak ke dalam orbit “ilmiah”: membuka kerajaan terhadap kajian ilmiah dan sastra. Ia sendiri menerbitkan laporan berjudul Het Rijk Siak Sri Indrapura (Kerajaan Siak Indrapura) di dalam majalah ilmiah kolonial, Tijdschrift voor Indische Taal- Land- en Volkenkunde, yang berisikan paparan mengenai konstitusi politik dan ekonomi Siak. Beberapa penulis Belanda kemudian menerbitkan makalah-makalah pendek, setelah mengunjungi Siak untuk urusan resmi. Kemudian, seorang Belanda yang waktu itu tinggal di Pulau Bengkalis menulis sejarah kerajaan ini.

Sultan Syarif Hassim
Sultan Ismail digulingkan pada tahun 1864 karena gangguan jiwa, dan digantikan oleh adiknya yang bernama Tengku Syarif Kassim I. Sultan ini memerintah sampai tahun 1889. Ia digantikan oleh Sultan Syarif Hassim (1889-1908), seorang raja modern yang menjalankan apa yang dapat kita sebut sebagai kebijakan pengembangan negeri-negeri bergaya Melayu. Sultan inilah yang membangun istana Siak bergaya Arab yang terkenal itu, yang biaya pembangunannya mungkin dibantu juga oleh pemerintah kolonial Belanda.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *