Kain Cindai

Tenun songket Melayu Riau di salah satu sentra tenun di Bengkalis, Riau (foto:kosabudaya.id)

Cindailah mana tidak berkias
Jalinnya lalu rentah beribu
Bagailah mana hendak berhias
Cerminku retak seribu

KAIN cindai adalah kain sutra berbunga-bunga yang dihasilkan dengan teknik tenun benang ikat ganda, yang khusus dipakai oleh kaum perempuan. Kain ini disebut juga kain bermotif silang jala (tissu a motifs reticules), dibawa oleh pedagang Gujarat ke seluruh Nusantara dan mulai digunakan meluas di Alam Melayu sejak abad ke-11 dengan nama kain cindai.

Bacaan Lainnya

Pada mulanya, kain cinadai banyak digunakan di kalangan istana sebagai bahan perlengkapan adat atau pakaian resmi, misalnya sebagai kain panjang, bengkung dan selempang. Kain ini juga banyak disebutkan di dalam berbagai sastra lama, seperti Sulalatus Salatin atau Sejarah Melayu dan Hikayat Hang Tuah.

Kata cindai berasal dari bahasa Hindi “chinri” yang berarti ‘tenunan bandana yang dicelup’. Kain ini juga dikenal sebagai patola. Di dalam A Malay-English Dictionary (1932) yang ditulis Richard James Wilkinson, kain cindai disebut sebagai kain sutera yang ukuran panjangnya sekitar lima yard atau lebih dan lebarnya satu yard dengan berjumbai di ujungnya.

Jenis-jenis Kain Cindai
Secara umum, terdapat dua jenis kain cinadai yaitu cindai jantan dan cindai betina. Cindai jantan dikenali dengan tenunan yang sangat halus yang ditenun melalui cincin, dan pola jalinan yang kuat.  Kain ini sering dipakai sebagai ikat pinggang oleh orang-orang yang akan pergi berperang. Lipatan cindai jantan banyak menyerupai perisai, konon dapat berubah menjadi ular untuk melindungi pemakainya. Walapun cindai jantan memiliki tenunan yang lebih halus, tetapi motif hias lebih besar dan berukuran pendek.

Cindai betina memiliki tenunan yang lebih tebal, serta gambar dan polanya kurang kuat.  Bentuknya lebih panjang yang disebut dengan ukuran, se­perti panjang tengah tiga puluh dan tiga puluh dengan rambunya. Cindai betina juga disebut sebagai cindai sari dengan motif hias kecil dan halus tetapi tenunan kainnya lebih kasar, dipakai oleh laki-laki yang pasang sebagai selempang di bahu.

Ragam Hias
Ragam hias kain cindai berupa motif yang umumnya berasal dari unsur alam seperti tumbuhan dan binatang yang dihasilkan dengan menggunakan kesan geometrik seperti titik, garis dan kelok.

Penggunaan kain cindai hampir merata di Nusantara dengan penamaan yang berbeda. Penyebutan cindai terdapat di kalangan orang Melayu dan Jawa, limar di Palembang dan Kelantan, kashmir di Kedah seperti tertulis di dalam Hikayat Merong Mahawangsa,dan asurii atau ashiri di Jepang.

Cindai yang disebut kain limar atau limas ditenun dari benang ikat celup. Kain pelangi ini dibuat dengan proses ikat dan celup, tetapi dengan memakai bahan yang mutunya lebih rendah dan dengan desain yang sederhana. Sebelum ditenun, bahan benang dan loseng diikat lalu dicelup dengan bahan pencelup alami lebih dulu. Di Palembang, perkataan melimar berarti mewarnai benang dan di Kelantan berarti warna kain seakan-akan warna pecahan air limau, hasil dari teknik ikat benang sebelum diberi warna (berlimar).

Cindai atau patola India berwarna merah tua, hitam, biru dan ungu umumnya dengan tujuh lapisan warna. Tenun ikat limar juga terdiri dari susunan warna seperti jingga, ungu dan hijau. Bahkan ada yang dihias dengan motif kaligrafi yang disebut limar berayat.

Dalam adat istiadat perkawinan tradisional, cindai menjadi perlengkapan penting. Pada masa Kesultanan Melayu Riau-Johor pada abad ke-18 misalnya, cindai menjadi kain utama dalam hantaran peminangan, perkawinan, kelahiran dan kematian. Di Jawa, batik cindai menjadi bahan pakaian “basahan” pengantin sebagai kain kemban dan celana pengantin lelaki (panji-panji), atau sebagai sampur penari. Di Palembang, kain cindai dipakai sebagai kain lepas di pinggang. Di Kelantan, kain cindai jantan menjadi pakaian Cik Siti Wan Kembang.

Di Riau, kain cindai adalah sebutan untuk kain batik khas Melayu, khususnya yang terdapat di Indragiri, Siak, dan Bengkalis. Kain cindai yang menjadi busana Melayu biasanya dikenakan pada hari perkawinan, khitanan, upacara adat dan ketika menyambut tamu penting. Pada hari-hari biasa, busana cindai dipakai oleh para keluarga istana dan petinggi kerajaan. Kain cindai tampil dalam gaya warna terang dan kontras. Warna-warna kuning tua, merah darah, biru laut dan hijau lumut sangat disukai. Kombinasi warna juga lebih berani dan bersemangat. Motif cindai yang sangat sarat dengan simbol-simbol alam seperti tumbuh-tumbuhan, hewan, lingkungan alam dan bahkan kekuatan supernatural yang penuh mistik, serta motif geometris

Raja Ali Haji (1808—1873) dalam Gurindam Dua Belas pasal yang terakhir menggambarkan kain cindai sebagai berikut:

Hormat akan orang yang pandai
Tanda mengenal kasa dan cindai

Raja Ali Haji juga menjelaskan dalam kamus ensiklopedi  monolingual bahasa Melayu yang disusunnya, yaitu Kitab Pengetahuan Bahasa (1858) sebagai, “nama kain sutera atau benang berbelang-belang dibuat orang-orang Melayu ikat pinggang supaya tetap keris kepada pinggang adanya”.

Di Alam Melayu cindai menjadi kain yang bermutu tinggi, seperti terungkap dalam peribahasa Melayu mati berkafan cindai yang berarti kematian terhormat dengan membawa nama baik. Sebuah peribahasa Gujarat juga menunjukkan tingginya nilai kain cindai yang mereka sebut sebagai patola: Fade patola bath fate pan fite nahi yang berarti bagai patola bisa koyak, tetapi takkan luntur, begitulah orang yang teguh iman.

Rujukan
Wilkinson, R.J.. 1959. A Malay-English Dictionary. London: Macmillan & Co. Ltd.
Dewan Bahasa dan Pustaka. 1999. Ensiklopedia Sejarah dan Kebudayaan Melayu, edisi kedua cetakan pertama. Selangor: Percetakan Dewan Bahasa dan Pustaka.
Ediruslan Pe Amariza (ed.). 2001. Warisan Riau, Tanah Melayu Indonesia yang Legendaris. Pekanbaru: Yayasan Warisan Riau.
Abdul Malik dkk.. 2003. Corak dan Ragi Tenun Melayu Riau. Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu Yogyakarta kerjasama dengan Adicita Karya Nusa.
Elmustian Rahman dkk. 2012. Ensiklopedia Kebudayaan Melayu Riau. Pekanbaru: Pusat Penelitian Kebudayaan dan Kemasyarakatan Pusat Penelitian.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *