Jike Berdah

JIKE berdah berasal dari kata zikir dan berdah. Zikir bearti puji-pujian, dan berdah merupakan gendang berdah yaitu sejenis gendang rebana atau gendang satu muka. Sehingga secara sederhana, jike berdah berarti puji-pujian yang diiringi musik gendang berdah.

Jike berdah sering juga disebut dengan bajikea. Kesenian ini dilaksanakan sebagai hiburan dalam suatu dalam suatu helat atau kenduri yang ditampilkan oleh sebuah grup jike berdah. Bacaan bajikea mirip berzanji. Ukuran gendang berdah yang digunakan berkisar garis tengah 60-80 centimeter untuk permukaannya (muka atas) sedangkan muka bawah berkisar 40-60 cm. Tingginya rata-rata 20 cm. Ukuran rebana tidak sama besar, sehingga nadanya pun berbeda-beda, sehingga menjadi sebuah simponi, sedap didengar telinga. Gendang ghabano asli Baturijal ini ukurannya paling besar di Riau. Rebana kasidahan kecil-kecil dan digunakan untuk nyanyian-nyanyian modern berirama Timur Tengah. Meskipun awalnya tetap sebagai puji-pujian. 

Bacaan Lainnya

Bajikea untuk meramaikan acara yang dilakukan pada saat perayaan perkawinan, semalam suntuk. Setelah selesai makan basamo, mulai dari sekitar pukul 9 malam, sampai waktu subuh, menyelesaikan beberapa pasal atau bab dalam kitab khusus jikea.

Bajikea dibagi beberapa sesi atau pasal. Setiap menyelesaikan satu pasal, diadakan istirahat atau jedah dengan minum-minuman teh atau kopi dengan penganan. Waktu jedah hanya sekitar 15 menit, seperti coffee break pada seminar atau pelatihan zaman modern sekarang. Sedangkan jedah besar dengan makan nasi.

Ketika jedah, rebana yang besar itu ditelungkupkan sekalian dijadikan tempat meletakkan talam – nampan tempat makanan. Bagi anak-anak jarang yang mampu bertahan tidak tidur semalaman. Tetapi anak-anak tetap ramai di tempat orang bajikea, mengharapkan makanan kue pada waktu jedah, atau makan malam dengan lauk yang istimewa.

Bajikea tidak dengan suara pelan dan rendah, sebagaimana orang berdoa dan memohon kepada Tuhan, melainkan dengan suara keras tinggi, kadang-kadang sampai melengking. Suara jikea yang keras itu ditimpali oleh suara rebana yang juga keras, karena dipukul sekuat tenaga. Karena bajikea ini merupakan suatu grup, harus seirama. Anggota grup selalu berlatih untuk memperbaiki penampilan supaya pelanggan tidak kecewa.

Suara orang bajikea ini terdengar sampai jauh. Ketika malam semakin sunyi, suara orang bajikea semakin jelas. Terdengarnya semakin merdu dan syahdu. Acara-acara ini biasanya di rumah pengantin perempuan.

Jikea berasal dari istilah Arab, zik’r.Dikir atau zikir mempunyai beberapa maksud, yaitu doa atau puji-pujian kepada Allah yang diucapkan secara berlagu atau tidak atau dengan cara berulang-ulang. Doa atau puji-pujian berlagu seperti dalam perayaan Maulid Nabi seringkali diiringi alat musik seperti kompang atau rebana; atau dengan lagu dan nyanyian berpantun secara beramai-ramai seperti dalam persembahan Dikir Barat. Dikir juga digunakan dalam konteks tradisi lisan yang mencakup mantera, jampi, serapah dan seru seperti yang diungkapkan oleh pawang dan dukun.

Ada beberapa jenis jikea yang memenuhi beberapa fungsi, di antaranya Dikir Maulid yang diadakan dalam perayaan hari Maulid Nabi Muhammad Saw., Dikir Berarak yang disebut juga dengan gendang beregong yang dipersembahkan ketika mengarak pengantin atau tamu kehormatan. Marhaban dan Berzanji juga digolongkan sebagai bentuk persembahan jikea yang dilagukan.

Dalam jikea yang bercorak agama, terdapat puisi tertentu yang mengandung unsur pelajaran agama seperti rukun Islam dan rukun iman, serta kisah menarik tentang Rasulullah, keluarga, dan para sahabat. 

Seni kata dalam jikea Rebana banyak memakai bahasa Arab yang memuji kebesaran Tuhan dan memuliakan Rasul. Mereka bajikea dengan panduan teks khusus yang mempunyai 14 keturunan dalam bentuk nazam, tetapi tidak memakai tanda yang sebenarnya. Ketika berdikir, pendikir duduk bersila membentuk lingkaran mengelilingi teks yang diletakkan di tengah-tengah di atas bantal. Mereka berdikir secara bergiliran mengikuti putaran ke kiri atau ke kanan. Pada peringkat pertama berdikir, gendang ghabano yang ditepuk diletakkan di atas lantai di hadapan sila, dan pada peringkat kedua, rebana diletakkan di atas riba. Rebana ditepuk dengan menggunakan empat jari. Terdapat tiga jenis tepukan yaitu tepukan cop, tepukan tung dan jentikan.

Tempat duduk pendikir berbeda tergantung acaranya. Dalam acara perayaan, mereka mengiring pembesar atau tetamu dari belakang. Dalam acara perkawinan, mereka duduk menghadap pengantin dan dalam acara berinai besar, mereka ditempatkan di bagian ujung selasa.

Jikea gendang ghabano biasanya dipersembahkan selepas sholat Isya hingga Subuh. Oleh karenanya, di sekitar pajike, diletakkan mangkuk berisi gula batu, pati santan, cengkeh, kulit kayu manis, air dan tepak sirih yang bertujuan untuk memulihkan dan memelihara suara para pajikea. Mereka juga istrahat setelah selesai satu surat dan dijamu minuman dan kue-muih. Setelah tamat bajike, mereka dihidangkan nasi khas yang disebut “‘nasi habibun” dan dibekalkan buah tangan seperti pulut, telur, dan kue-muih.

Asal muasal dari jikea bardah di Baturijal ini sejak abad ke-18. Namun mendapat sentuhan baru oleh seorang perantau Baturijal yang bernama Budin. Ia pergi merantau melanglang buana ke Semenanjung Melaka hingga ke sebuah negeri yang bernama Daik(Ibukota kabupaten Lingga, Provinsi Kepulauan Riau).  Di Daik, Budin tinggal lama hingga memilki seorang ayah angkat. Di Daik ini Budin mengenal sebuah bentuk kesenian, maka tersentaklah hati Budin untuk belajar tentang kesenian itu. Setelah belajar beberapa tahun, maka Budin pun mahir. Pada tahun 1919, maka timbullah keinginan dihati Budin untuk pulang ke kampung halamannya, Baturijal. Sesampainnya dikampung, Budin mencari 10 orang masyarakat untuk mengajarkan kesenian yang telah dipelajarinya di Daik bersama ayah angkatnya. Setelah 3 bulan, anggota kelompok kesenian ini bertambah menjadi 20 orang. Dan akhirnya Budin memberi nama jenis kesenian Ini dengan nama zikir ghabano namun sekarang berubah pula namanya zikir berdah.

Pada bajikea ini, terdapat 4 jenis lagu, diantarannya: madun, pain, yaumun, dan taba. Penamaan jenis lagu berdasarkan awalan dari setiap kalimat  barzanji yang akan dinyanyikan. Untuk satu lagu bisa membutuhkan waktu 2-2,5 jam. Laju jenis madun dan pain membutuhkan waktu 2,5 jam, sedangkan lagu yaumun dan taba membutuhkan waktu 2 jam.  Setelah menyanyikan satu lagu disebut dengan satu pasal. 

Pada acara pernikahan, bajikea tidak hanya dilakukan ketika malam saja, tetapi juga digunakan untuk arak-iring pengantin (antar tabak ke bako). Selain pada acara pernikahan, bajikea juga digunakan pada acara khitanan, acara peresmian, penyambutan kepala daerah/Negara, hingga keikutsertaan dalam kegiatan festival, mulai dari tingkat daerah, nasional dan internasional.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *